BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Korupsi, itulah kata yang
udah tidak asing lagi yang selalu kita dengar setiap saat, bukan saja di
Indonesia namun kejaatan tindak pidana korupsi ini sudah berada di seluruh
Negara yang ada di dunia. Perilaku korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan
luar biasa. Di Indonesia, perilaku korupsi telah berlangsung cukup lama dengan
pola penyebaran yang hampir merata. Bahkan Indonesia pernah menduduki peringkat
pertama sebagai negara terkorup di Asia Oknum-oknum yang terlibat berasal dari
berbagai unsur, mulai dari DPR-RI, DPRD, aparat pemerintah mulai dari tingkat
pusat sampai perangkat desa serta institusi swasta dan masyarakat biasa dari
berbagai latar belakang dan profesi. Beberapa upaya telah dilakukan untuk
memberantas perilaku korupsi, misalnya dengan membentuk komisi khusus (Komisi
Pemberantasan Korupsi) untuk menangani kasus kasus tindak pidana korupsi. Upaya
lain yang perlu dilakukan untuk mencegah perilaku korupsi sejak dini adalah
melalui “pendidikan anti korupsi” dalam keluarga dan sekolah. Namun tetap saja
korupsi tersebut tetap ada di Indonesia, pemerintah sudah menggunakan berbagai
cara untuk memberantas korupsi di Indonesia namun seperti yang kita semua
lihat, oknum-oknum tertentu tetap saja melakukan hal tersebut. Masyarakat
banyak yang menderita karena korupsi yang dilakukan oleh oknum tertentu dalam
pemerintah, hak yang seharusnya menjadi milik masyarakat dipakai untuk memenuhi
hasrat atau keuntungan pribadi oleh pejabat-pejabat yang tidak bertanggungjawab
tersebut. Termasuk di pemerintahan
daerah, korupsi masih banyak terjadi dalam pemerintah daerah karena kata
karupsi tersebut memiliki arti luas. Arti dari korupsi bisa dikategorikan dalam
beberapa hal seperti korupsi waktu, korupsi tugas dan korupsi lainnya. Dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang korupsi yang ada di pemerintah
daerah.
1.2.RUMUSAN MASALAH
- Apa saja
bentuk pencegahan korupsi yang ada di dalam pemerintahan daerah?
- Apa peran
mahasiswa dalam penegakan hukum korupsi yang ada di pemerintah daerah?
1.3.TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan informasi kepada mahasiswa dan masyarakat bagaimana tindakan korupsi
itu sangat merugikan bagi masyarakat dan Negara dan selain itu juga agar
masyarakat tahu apa yang seharusnya dilakukan ketika menemukan kasus korupsi
dalam pemerintah daerah, sehingga masyarakat tahu kemana dan apa yang harus
dilakukan agar perilaku korupsi itu tidak bertambah parah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.KAJIAN UMUM DARI KORUPSI
2.1.1. DASAR HUKUM
KORUPSI
Sebelum kita masuk dalam kajian umum dari tindak
pidana korupsi, alangkah baiknya terlebih dahulu kita harus mengenal apa yang
menjadi dasar dan penindakan kejahatan korupsi di Negara Indonesia ini. Adapun
undang-undang dan peraturan yang
mengatur tentang korupsi adalah sebagai berikut :[1]
1.
Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
2.
Undang-Undang
No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
3.
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4.
Peraturan
Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
5.
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6.
Undang-Undang
No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.
Undang-Undang
No. 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang
8.
Peraturan
Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
9.
Undang-Undangn
No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
10. Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 Tentang Sistem Manajemen
Sumber Daya Manusia KPK
2.1.2.
DEFINISI
KORUPSI
Menurut pendapat penulis secara pribadi,
Korupsi adalah suatu perbuatan untuk memenuhi sesuatu secara instan yang tidak bertanggung jawab dengan merugikan
pihak lain yang melalui prosedur yang salah dan melanggar ketentuan yang sudah
ada sebelumnya.
Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama
kali mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang
dipublikasikan media, seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan,
birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan pemaknaannya
dengan politik. Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar
hukum, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya.
Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikaitkan dengan
perekonomian, kebijakan publik, kebijakan internasional, kesejahteraan sosial,
dan pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan
korupsi hingga organisasi internasional seperti PPB memiliki badan khusus yang
memantau korupsi dunia. Dasar atau landasan untuk memberantas dan menanggulangi
korupsi adalah memahami pengertian korupsi itu sendiri. Pada bagian ini dibahas
mengenai pengertian korupsi berdasarkan definisi-definisi umum dan pendapat
para pakar.[2]
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema
Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary :
1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”,
suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian
dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis)
dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah
adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian. Di Malaysia terdapat peraturan anti
korupsi, dipakai kata “resuah” berasal dari bahasa Arab “risywah”, menurut
Kamus umum Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi (Andi Hamzah: 2002). Risywah
(suap) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang
kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak
dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan (al-Misbah al-Munir–al Fayumi,
al-Muhalla–Ibnu Hazm). Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang
terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar.
Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa Nash Qur’aniyah dan Sunnah
Nabawiyah yang antara lain menyatakan: ”Mereka itu adalah orang-orang yang suka
mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42). Imam
al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan
risywah. Jadi risywah (suap
menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT. Jadi diharamkan
mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga mediator antara penyuap
dan yang disuap. Hanya saja jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan
untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Namun orang yang
menerima suap tetap berdosa (Kasyful Qona’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243,
al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha
6/479). Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa
Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral,
kebejatan dan ketidakjujuran”(S. Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978).
Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok, dan sebagainya” (WJS Poerwadarminta: 1976). [3]
Selanjutnya untuk
beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :3
1. Korup artinya busuk, suka menerima
uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan
korupsi.
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat
dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut:
sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan
instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau
golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
2.1.3.
DAMPAK
SOSIAL DAN KEMISKINAN MASYARAKAT
Seperti yang kita sudah ketahui semua,
bahwa dampak dari korupsi ini sudah hampir diketahui oleh masyarakat termasuk
masyarakat kecil pun mengetahuinya. Namun secara faktanya dampak dari korupsi
sangat banyak dan tidak semua diketahui oleh masyarakat, namun dalam penulisan
di makalah ini penulis akan membahas dampak dari korupsi dari segi dampak
social dan kemiskinan masyarakat karena dampak inilah yang paling terasa atau
dialami oleh masyarakat di Indonesia secara luas. Bagi masyarakat miskin
korupsi mengakibatkan dampak yang luar biasa dan saling bertaut satu sama lain.
Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin
mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas pelayanan, dan
pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan
pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan
sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang
seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui
pembatasan pembangunan. Hal ini secara langsung memiliki pengaruh kepada
langgengnya kemiskinan.
Bagi masyarakat miskin korupsi
mengakibatkan dampak yang luar biasa dan saling bertaut satu sama lain.
Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin
mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas pelayanan, dan
pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan
pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan
sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang
seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui
pembatasan pembangunan. Hal ini secara langsung memiliki pengaruh kepada
langgengnya kemiskinan. Berikut adalah beberapa hal yang menjadi dampak
langsung yang langsung dirasakan oleh masyarakat,yaitu: [4]
1. Mahalnya Harga Jasa dan Pelayanan
Publik
Praktek korupsi yang terjadi menciptakan
ekonomi biaya tinggi. Beban yang ditanggung para pelaku ekonomi akibat korupsi
disebut high cost economy. Dari istilah pertama di atas terlihat bahwa potensi
korupsi akan sangat besar terjadi di negara-negara yang menerapkan kontrol
pemerintah secara ketat dalam praktek perekonomian. Alias memiliki kekuatan
monopoli yang besar, karena rentan sekali terhadap penyalahgunaan. Yang
disalahgunakan adalah perangkat-perangkat publik atau pemerintahan dan yang
diuntungkan adalah kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi. Kondisi
ekonomi biaya tinggi ini berimbas pada mahalnya harga jasa dan pelayanan
publik, karena harga yang ditetapkan harus dapat menutupi kerugian pelaku
ekonomi akibat besarnya modal yang dilakukan karena penyelewengan yang mengarah
ke tindak korupsi.
2. Pengentasan Kemiskinan Berjalan Lambat
Jumlah penduduk miskin (hidup di bawah
garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang (12,49
persen), turun 1,00 juta orang (0,84 persen) dibandingkan dengan penduduk
miskin pada Maret 2010 yang sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Selama
periode Maret 2010-Maret 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang
sekitar 0,05 juta orang (dari 11,10 juta orang pada Maret 2010 menjadi 11,05
juta orang pada Maret 2011), sementara di daerah perdesaan berkurang sekitar
0,95 juta orang (dari 19,93 juta orang pada Maret 2010 menjadi 18,97 juta orang
pada Maret 2011) (BPS: 1 Juli 2011).
Jumlah Penduduk
Miskin Menurut Daerah
Maret 2010 –
Maret 2011
Daerah/Tahun
|
Jumlah
Penduduk Miskin (Juta Orang)
|
Persentase
Penduduk Miskin
|
1
|
2
|
3
|
Perkotaan
|
||
Maret 2010
|
11,10
|
9,87
|
Maret 2011
|
11,05
|
9,23
|
Perdesaan
|
||
Maret 2010
|
19,93
|
16,56
|
Maret 2011
|
18,97
|
15,72
|
Kota+Desa
|
||
Maret 2010
|
31,02
|
13,33
|
Maret 2011
|
30,02
|
12,49
|
Pengentasan kemiskinan dirasakan sangat
lambat. Hal ini terjadi karena berbagai sebab seperti lemahnya koordinasi dan
pendataan, pendanaan dan lembaga. Karena korupsi dan permasalahan kemiskinan
itu sendiri yang pada akhirnya akan membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan
akses ke lapangan kerja yang disebabkan latar belakang pendidikan, sedangkan
untuk membuat pekerjaan sendiri banyak terkendala oleh kemampuan, masalah
teknis dan pendanaan.
3. Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat
Miskin
Korupsi yang telah menggurita dan terjadi
di setiap aspek kehidupan mengakibatkan high-cost economy, di mana semua
harga-harga melambung tinggi dan semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin.
Kondisi ini mengakibatkan rakyat miskin semakin tidak bisa mendapatkan berbagai
macam akses dalam kehidupannya. Harga bahan pokok seperti beras, gula, minyak,
susu dan sebagainya saat ini sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan
penderitaan khusunya bagi bayi dan anak-anak karena ketercukupan gizinya
kurang. Untuk mendapatkan bahan pokok ini rakyat miskin harus mengalokasikan
sejumlah besar uang dari sedikit pendapatan yang dimilikinya. Rakyat miskin
tidak bisa mengakses jasa dengan mudah seperti: pendidikan, kesehatan, rumah
layak huni, informasi, hukum dsb. Rakyat miskin lebih mendahulukan mendapatkan
bahan pokok untuk hidup daripada untuk sekolah. Kondisi ini akan semakin
menyudutkan rakyat miskin karena mengalami kebodohan. Dengan tidak bersekolah,
maka akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi sangat terbatas, yang
pada akhirnya rakyat miskin tidak mempunyai pekerjaan dan selalu dalam kondisi yang
miskin seumur hidup. Situasi ini layak disebut sebagai lingkaran setan.
4. Meningkatnya Angka Kriminalitas
Dampak korupsi, tidak diragukan lagi dapat
menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat. Melalui praktik korupsi,
sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum,
menyusupi berbagai oraganisasi negara dan mencapai kehormatan. Di India, para
penyelundup yang popular, sukses menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku
jabatan penting. Di Amerika Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan
proteksi kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang korup.
Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan. Menurut
Transparency International, terdapat pertalian erat antara korupsi dan kualitas
serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi meningkat, angka kejahatan
yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika korupsi berhasil dikurangi,
maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) juga
meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak
langsung) mengurangi kejahatan lain dalam masyarakat. Soerjono Soekanto
menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara selain tergantung dari hukum
itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan prasarana, juga tergantung pada
kesadaran hukum masyarakat. Memang secara ideal, angka kejahatan akan berkurang
jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterence). Kondisi ini hanya
terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah
memadai.
5. Solidaritas Sosial Semakin Langka dan
Demoralisasi
Korupsi yang begitu masif yang terjadi
membuat masyarakat merasa tidak mempunyai pegangan yang jelas untuk menjalankan
kehidupannya sehari-hari. Kepastian masa depan yang tidak jelas serta himpitan
hidup yang semakin kuat membuat sifat kebersamaan dan kegotong-royongan yang
selama ini dilakukan hanya menjadi retorika saja. Masyarakat semakin lama menjadi semakin
individualis yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya saja.
Mengapa masyarakat melakukan hal ini dapat dimengerti, karena memang sudah
tidak ada lagi kepercayaan kepada pemerintah, sistem, hukum bahkan antar
masyarakat sendiri. Orang semakin segan membantu sesamanya yang terkena musibah
atau bencana, karena tidak yakin bantuan yang diberikan akan sampai kepada yang
membutuhkan dengan optimal. Ujungnya mereka yang terkena musibah akan semakin
menderita. Di lain sisi partai-partai politik berlomba-lomba mendirikan posko
bantuan yang tujuan utamanya adalah sekedar mencari dukungan suara dari
masyarakat yang terkena musibah atau bencana, bukan secara tulus meringankan
penderitaan dan membantu agar lebih baik.Solidaritas yang ditunjukkan adalah
solidaritas palsu. Sudah tidak ada lagi keikhlasan, bantuan yang tulus,
solidaritas yang jujur apa adanya. Kondisi ini akan menciptakan demoralisasi,
kemerosotan moral dan akhlak khususnya bagi generasi muda yang terus menerus
terpapar oleh kepalsuan yang ditunjukkan oleh para elit politik, pejabat
penguasa, penegak hukum, artis dan selebritis yang setiap hari bisa dilihat
dari berbaga macam media.
2.2.BENTUK PENCEGAHAN KORUPSI DALAM PEMERINTAHAN DAERAH
Bentuk
pencegahan korupsi ada dua yaitu factor internal dan factor eksternal, Faktor
internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam
dalam diri setiap individu. Nilai-nilai anti korupsi tersebut antara lain
meliputi kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras,
sederhana, keberanian, dan keadilan. Nilai-nilai anti korupsi itu perlu diterapkan
oleh setiap individu untuk dapat mengatasi faktor eksternal agar korupsi tidak
terjadi. Untuk mencegah terjadinya faktor eksternal, selain memiliki
nilai-nilai anti korupsi, setiap individu perlu memahami dengan mendalam
prinsip-prinsip anti korupsi yaitu akuntabilitas, transparansi, kewajaran,
kebijakan, dan kontrol kebijakan dalam suatu organisasi/institusi/masyarakat.
Oleh karena itu hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-nilai anti korupsi
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.[7]
Dalam pemerintah daerah khususnya daerah Bali masih banyak terjadi kasus
korupsi, berikut adalah barita-berita tentang kasus korupsi yang ada di
Kabupaten Badung Bali:[8]
- Kejati Bali Bidik
Dugaan Korupsi Proyek BBI Sangeh
Kasus
dugaan korupsi pembangunan perbaikan kolam ikan, saluran dan tembok Balai Benih
Ikan (BBI) di Desa Sangeh, Abiansemal, Badung milik Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Bali. Kabarnya, pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali di
bawah kendali Kepala Kejati Bali, DJ Sianturi mulai membidik proyek mangkrak
dengan nilai cukup tinggi ini. Bidikan Kejati Bali atas dugaan korupsi proyek
BBI Sangeh ini menyusul dengan adanya dugaan nilai kerugian negara hingga
mencapai miliaran rupiah. Menurut sumber tersebut, proyek yang sejak awal
bersumber dari dana pusat yakni Anggran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
nilainya cukup fantastis, yakni Rp 1,8 miliar. Sayangnya, meski dalam anggaran
tersebut terinci ada alokasi biaya untuk perencanaan dan pengawasan Rp
229.496.000, namun proyek juga tak kunjung kelar. Bahkan, akibat mandeg-nya
proyek tersebut, terpaksa pemerintah kembali mengalokasikan kembali anggaran
baru sebesar Rp 700 juta lagi untuk kelanjutan pembangunan proyek.
2.
Anggota DPRD Badung
Nyoman Giri Prasta Diduga ‘Mark Up’ Pembelian Tanah
Anggota Komisi D DPRD Badung Nyoman Giri Prasta
akan diperiksa Polda Bali, Jumat (5/2), atas dugaan “mark up” pengadaan tanah
untuk lapangan di Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, yang
merugikan negara sebesar Rp 1,06 miliar.
3.
Dugaan Korupsi Lurah
Kerobokan
Satu per
satu kasus korupsi disidangkan di PN Denpasar. Setelah menuntaskan kasus
korupsi penggunaan dana BOS, Rabu (10/12) mendatang PN Denpasar akan
menyidangkan kasus dugaan korupsi yang dilakukan Lurah Kerobokan Nyoman
Sumardika. Sidang rencananya akan dipimpin Hakim Daniel Palittin, sementara
jaksa penuntut diberikan kepercayaan pada I.A. Retnasari Kusumadewi. Tersangka
Sumardika diduga telah melanggar pasal 2 jo pasal 18 ayat (1) UU No. 31 tahun
1999 yang diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (dakwaan kesatu) atau pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) UU No.
31 tahun 1999 jo pasal 64 ayat (1) KUHP (dakwaan kedua) atau pasal 12 huruf b
jo pasal 18 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo pasal 64 ayat (1) KUHP (dakwaan
ketiga) atau untuk dakwaan keempat pasal 11 jo pasal 18 ayat (1) UU No. 31
tahun 1999. Sumardika diduga melakukan korupsi setelah tidak memasukkan semua
sumbangan dari pihak ketiga ke dalam buku administrasi keuangan desa.
Jadi, dari berita-berita
tersebut diatas nampaknya kabupaten badung juga belum bisa terbebas dari kasus
korupsi yang dilakukan oleh para pejabatnya. Setiap orang didaerah manapun
sudah selayaknya untuk mempelajari dantentunya melaksanakan nilai-nilai anti korupsi tersebut antara lain meliputi
kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana,
keberanian, dan keadilan serta juga harus melaksanakan factor eksternal prinsip-prinsip
anti korupsi yaitu akuntabilitas, transparansi, kewajaran, kebijakan, dan kontrol
kebijakan dalam suatu organisasi/institusi/masyarakat. Sehingga dengan
menerapkan hal ini pejabat-pejabat disetiap daerah dapat mencciptakan
pemerintahan daerah yang bersih dari korupsi demi kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat.
2.3. PERAN MAHASISWA DALAM PENEGAKAN HUKUM KORUPSI DALAM
PEMERINTAHAN DAERAH
Penulis selaku mahasiswa Undiknas tentunya sangat
peduli dengan kejadian korupsi yang terjadi di Negara kita Indonesia, selain
itu juga penulis tentunya juga sangat peduli tentang permasalahan korupsi yang
ada di daerahnya yaitu daerah Kabupaten Badung. Maka dari itu penulis
menuliskan rumusan masalah tentang peran mahasiswa karena tujuan lain dari penulis juga
merupakan memberikan informasi terhadap mahasiswa bagaimana harus bertindak
untuk membersihkan pemerintahan dari korupsi. Berikut adalah beberapa peran
mahasiswa yang harus dilaksanakan dan tentunya di laksanakan:
1. Di Lingkungan Keluarga
Internalisasi karakter anti korupsi di dalam diri
mahasiswa dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Kegiatan tersebut dapat
berupa melakukan pengamatan terhadap perilaku keseharian anggota keluarga,
misalnya:
- Apakah dalam mengendarai kendaraan bermotor
bersama ayahnya atau anggota keluarga yang lain, peraturan lalin
dipatuhi? Misalnya: tidak berbelok/berputar di tempat dimana ada tanda
larangan berbelok/berputar, tidak menghentikan kendaraan melewati batas
marka jalan tanda berhenti di saat lampu lalu lintas berwarna merah,
tidak memarkir/menghentikan kendaraan di tempat dimana terdapat tanda
dilarang parkir/berhenti, dsb.
- Apakah ketika berboncengan motor bersama
kakaknya atau anggota keluarga lainnya, tidak menjalankan motornya di
atas pedestrian dan mengambil hak pejalan kaki?Tidak mengendarai motor
berlawanan arah? Tidak mengendarai motor melebihi kapasitas (misalnya
satu motor berpenumpang 3 atau bahkan 4 orang).
- Apakah
penghasilan orang tua tidak berasal dari tindak korupsi? Apakah orang tua
tidak menyalahgunakan fasilitas kantor yang menjadi haknya?
- Apakah ada diantara anggota keluarga yang
menggunakan produk-produk bajakan (lagu, film, software, tas, sepatu,
dsb.)
Pelajaran
yang dapat diambil dari lingkungan keluarga ini adalah tingkat ketaatan
seseorang terhadap aturan/tata tertib yang berlaku. Substansi dari dilanggarnya
aturan/tata tertib adalah dirugikannya orang lain
karena haknya terampas. Terampasnya hak orang lain merupakan cikal bakal dari
tindakan korupsi. Tahapan proses internalisasi karakter anti korupsi di dalam
diri mahasiswa yang diawali dari lingkungan keluarga sangat sulit untuk
dilakukan. Justru karena anggota keluarga adalah orang-orang terdekat, yang
setiap saat bertemu dan berkumpul, maka pengamatan terhadap adanya perilaku
korupsi yang dilakukan di dalam keluarga seringkali menjadi bias. Bagaimana
mungkin seorang anak berani menegur ayahnya ketika sang ayah kerap kali
melanggar peraturan lalu lintas? Apakah anak berani untuk bertanya tentang asal
usul penghasilan orang tuanya? Apakah anak memiliki keberanian untuk menegur
anggota keluarga yang lain karena menggunakan barang-barang bajakan?
Nilai-nilai yang ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya bermula dari
lingkungan keluarga dan pada kenyataannya nilai-nilai tersebut akan terbawa
selama hidupnya. Jadi, ketika seorang mahasiswa berhasil melewati masa yang
sulit ini, maka dapat diharapkan ketika terjun ke masyarakat mahasiswa tersebut
akan selamat melewati berbagai rintangan yang mengarah kepada tindak korupsi.
Paling tidak, ada satu orang generasi muda yang tidak tergiur untuk melakukan
tindak korupsi. Jika Pendidikan Anti Korupsi diikuti oleh banyak Perguruan
Tinggi, maka akan diperoleh cukup banyak generasi muda yang dapat menjadi
benteng anti korupsi di Indonesia.
2. Di Lingkungan Kampus
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti-korupsi di lingkungan
kampus dapat dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu: untuk individu mahasiswanya
sendiri, dan untuk komunitas mahasiswa. Untuk konteks individu, seorang
mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar dirinya sendiri tidak berperilaku
koruptif dan tidak korupsi. Sedangkan untuk konteks komunitas, seorang
mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar rekan-rekannya sesama mahasiswa dan
organisasi kemahasiswaan di kampus tidak berperilaku koruptif dan tidak
korupsi.
Agar seorang mahasiswa dapat berperan dengan baik dalam gerakan
anti-korupsi maka pertama-pertama mahasiswa tersebut harus berperilaku
anti-koruptif dan tidak korupsi dalam berbagai tingkatan. Dengan demikian
mahasiswa tersebut harus mempunyai nilai-nilai anti-korupsi dan memahami
korupsi dan prinsip-prinsip anti-korupsi. Kedua hal ini dapat diperoleh dari
mengikuti kegiatan sosialisasi, kampanye, seminar dan kuliah pendidikan anti
korupsi. Nilai-nilai dan pengetahuan yang diperoleh tersebut harus
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain seorang
mahasiswa harus mampu mendemonstrasikan bahwa dirinya bersih dan jauh dari
perbuatan korupsi.
Berbagai bentuk kegiatan dapat dilakukan untuk menanamkan
nilai-nilai anti korupsi kepada komunitas mahasiswa dan organisasi
kemahasiswaan agar tumbuh budaya anti korupsi di mahasiswa. Kegiatan kampanye,
sosialisasi, seminar,pelatihan, kaderisasi, dan lain-lain dapat dilakukan untuk
menumbuhkan budaya anti korupsi. Kegiatan kampanye ujian bersih atau anti
mencontek misalnya, dapat dilakukan untuk menumbuhkan antara lain nilai-nilai
kerja keras, kejujuran, tanggung jawab, dan kemandirian. Kantin kejujuran adalah
contoh lain yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dan
tanggung jawab.
3. Di Masyarakat Sekitar
Hal yang sama dapat dilakukan oleh mahasiswa atau
kelompok mahasiswa untuk mengamati lingkungan di lingkungan masyarakat sekitar,
misalnya:
a.
Apakah
kantor-kantor pemerintah menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakatnya
dengan sewajarnya: pembuatan KTP, SIM, KK, laporan kehilangan, pelayanan pajak?
Adakah biaya yang diperlukan untuk pembuatan surat-surat atau dokumen tersebut?
Wajarkah jumlah biaya dan apakah jumlah biaya tersebut resmi diumumkan secara
transparan sehingga masyarakat umum tahu?
b.
Apakah
infrastruktur kota bagi pelayanan publik sudah memadai? Misalnya: kondisi
jalan, penerangan terutama di waktu malam, ketersediaan fasilitas umum,
rambu-rambu penyeberangan jalan, dsb.
c.
Apakah
pelayanan publik untuk masyarakat miskin sudah memadai? Misalnya: pembagian
kompor gas, Bantuan Langsung Tunai, dsb.
d.
Apakah
akses publik kepada berbagai informasi mudah didapatkan?
4. Di Tingkat Lokal Dan Nasional
Dalam konteks nasional, keterlibatan
seorang mahasiswa dalam gerakan anti korupsi bertujuan agar dapat mencegah
terjadinya perilaku koruptif dan tindak korupsi yang masif dan sistematis di
masyarakat. Mahasiswa dengan kompetensi yang dimilikinya dapat menjadi pemimpin
(leader) dalam gerakan massa anti korupsi baik yang bersifat lokal
maupun nasional.
Berawal dari kegiatan-kegiatan yang
terorganisir dari dalam kampus, mahasiswa dapat menyebarkan perilaku anti
korupsi kepada masyarakat luas, dimulai dari masyarakat yang berada di sekitar
kampus kemudian akan meluas ke lingkup yang lebih luas. Kegiatan-kegiatan anti
korupsi yang dirancang dan dilaksanakan secara bersama dan berkesinambungan
oleh mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi akan mampu membangunkan kesadaran
masyarakat akan buruknya korupsi yang terjadi di suatu negara.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Nilai-nilai anti korupsi tersebut antara lain meliputi
kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana,
keberanian, dan keadilan. Nilai-nilai anti korupsi itu perlu diterapkan oleh
setiap individu untuk dapat mengatasi faktor eksternal agar korupsi tidak
terjadi. Untuk mencegah terjadinya faktor eksternal, selain memiliki
nilai-nilai anti korupsi, setiap individu perlu memahami dengan mendalam
prinsip-prinsip anti korupsi yaitu akuntabilitas, transparansi, kewajaran,
kebijakan, dan kontrol kebijakan dalam suatu organisasi/institusi/masyarakat.
Oleh karena itu hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-nilai anti korupsi
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Mahasiswa sudah selayaknya membantu Negara untuk
memberantas korupsi karena sejatinya kita semua ingin Negara kita bersih dari
koruptor, beberapa peran mahasiswa yang harus dilaksanakan dan tentunya di
laksanakan di Lingkungan Keluarga, Lingkungan Kampus, Masyarakat SekitaTingkat Lokal
Dan Nasional
3.2. SARAN
Kita semua memiliki peran yang sangat penting untuk memberants korupsi.
Janganlah sekali-sekali diantara kita menjadi seorang koruptor, mari kita
bersama-sama memahami, mempelajari dan melaksanakan makna-makna, nilai-nilai
dan prinsip-prinsip anti korupsi agar Negara kita menjadi lebih baik lagi.
Mulai dari hal yang kecil yaitu dari diri kita sendiri.
DAFTAR
PUTAKA
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010. Pendidikan Anti Korupsi. Jakarta:Kemendikbud
Mas Marwan. 2014. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bogor: Dhalia
Indonesia
google.com/penelusurangambar/dampak-korupsi
Infokorupsi.com-indonesia-bali-kabupatenbadung
Data Susenas (survey social ekonomi nasional) Maret 2010-Maret 2011
[2] Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010. Pendidikan Anti Korupsi. Jakarta:Kemendikbud
(hal36)
[3] Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010. Pendidikan Anti Korupsi. Jakarta:Kemendikbud
(hal37)
[4] Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010. Pendidikan Anti Korupsi. Jakarta:Kemendikbud
(hal72)
[5] Data
Susenas (survey social ekonomi nasional) Maret 2010-Maret 2011
[6] Gambar diambil dari google penelusuran gambar “Dampak Korupsi”
[7] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. 2010. Pendidikan Anti Korupsi. Jakarta:Kemendikbud
(hal90)
[8] Infokorupsi.com-indonesia-bali-kabupatenbadung