Laman

Minggu, 05 Maret 2017

PENGALAMAN MAGANG DI KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

PENGALAMAN MAGANG DI KOMISI NASIONAL
HAK ASASI MANUSIA


Halo semua.
Kali ini saya akan menulis tentang bagaimana pengalaman saya magang di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komnas HAM ini adalah tempat ketiga yang menjadi salah satu dari beberapa destinasi saya untuk jadikan tempat magang. Hahe
Baik langsung saja, Magang di Komnas HAM memiliki beberapa bidang yang dapat ditempati oleh mahasiswa yang ingin magang di Komnas HAM, seperti bagian administrasi, bagian humas, bagian pengaduan, bagian hukum, bagian pemantauan, bagian mediasi, bagian pengkajian dan lain-lain. Dari sekian banyak bagian yang dapat ditempati oleh mahasiswa magang tersebut, karena saya sudah pernah dibagian pengaduan di tempat magang saya sebelumnya, saya ingin mencoba bagian yang belum pernah saya ketahui, bagian ini adalah bagian Hukum Komna HAM.
Bagian Hukum Komnas HAM ini adalah bagian yang secara structural berada di Bagian Umum Komnas HAM. Nah sebelum saya masuk kebagian dari tugas-tugas apa saja yang saya lakukan, terlebih dahulu saya akan membahas teknis dari magang di Komnas HAM.
·       Dalam proses pengajuan terlebih dahulu, pada tahap ini, temen-temen yang berniat magang disni hanya cukup mengirimkan surat pengajuan permohonan magang dari Instansi Perguruan Tinggi temen-temen, ketika sudah dikirimkan, maka temen-temen akan diberikan konfirmasi dan akan ditanyakan dibagian apa minat dari temen-temen. Walaupun tidak pasti kamu akan ditempatkan dibagian yang kamu minati, paling tidak itu bisa dijadikan pertimbangan dari Komnas HAM terkait dengan penempatan mu saat memulai magang.
·       Berikutnya pasca diterimanya kami di Komnas HAM untuk magang, hari pertama saat kamu datang kamu harus menghadap kebagian kepegawaian terlebih dahulu. Dalam proses ini kamu akan mendapatkan arahan awal mengenai tata cara, etika, dll. Dalam proses ini, saat itu saya diberikan informasi untuk datang jam 09.00 harus sudah dikantor, berpakaian rapi, membawa buku catatan, membawa leptop, dan diberikan beberapa informasi mengenai Komnas HAM serta saya juga di berikan tanda pengenal sebagai perserta magang supaya mudah dikenali oleh pegawai-pegawai disana.
Nah itu dia hal teknis diawal sebelum masuknya kamu kedalam rutinitas magang di Komnas HAM. Berikut akan saya ceritakan mengenai pekerjaan-pekerjaan yang saya kerjakan selama saya magang di Komnas HAM. Tugas-tugas yang diberikan kepada saya khusus nya di bidang yang saya tempati adalah sebagai berikut :
1.     Melaksanakan segala hal yang berkaitan dengan Proses Peradilan yang mengaitkan Komnas HAM di dalamnya seperti, sebagai berikut :
a.      Menghadiri persidangan.
b.     Menghadiri mediasi para pihak dalam peradilan
c.      Menyiapkan segala berkar yang berkaitan dengan persidangan.
d.     Dan melaksanakan segala hal yang berkaitan dengan persidang tersebut.
2.     Mengikuti rapat internal Sub. Bagian Hukum, dalam rapat ini kamu akan diposisikan sebagai notulensi dalam rapat.
3.     Melaksanakan review terhadap tata cara prosedur hukum di internal Komnas HAM, seperti bagaimana agar pegawai mendapatkan perlindungan hukum, bagaimana agar tidak sampai berperkara dalam melaksanakan perkerjaan.
4.     Membuat Flowchart Sub Bagian Hukum, flowchart sendiri adalah alur bagaimana untuk mendapatkan tindak lanjut dari perkara yang diterima kemudian akan ditindaklanjuti oleh Sub Bagian Hukum.
5.     Membuat perjanjian-perjanjian.
6.     Dan perkerjaan-pekerjaan lainnya yang bersifat tambahan. (membuat laporan sidang, koordinasi dll)

Itulah pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan di Komnas HAM, pada intinya tidak perlu saya jelaskan secara rinci lagi bagaimana kita harus menyikapi magang yang kita laksanakan atau jalani. Jika kita ingin mendapatkan banyak hal ditempat yang kita jadikan tempat magang, kita  harus tekun, serius dalam menjalaninya dan aktif bertanya terkait dengan hal-hal yang temen-temen ingin ketahui. 

Senin, 27 Februari 2017

CARA MEMBUAT PROPOSAL MAGANG

PROPOSAL
PERMOHONAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN (MAGANG) DI
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Disusun Oleh :
Nama              : I Nyoman Yoga Ariadnya
NIM                : 3.13.1.1180


(LOGO KAMPUS)





PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL
(UNDIKNAS) DENPASAR
2017


PROPOSAL
KERJA PRAKTEK LAPANGAN (MAGANG)
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

A.    NAMA KEGIATAN

Kerja Praktek Lapangan atau Magang

B.     DASAR PEMIKIRAN
Pada era saat ini, di Indonesia untuk mendapatkan suatu pekerjaan atau profesi yang dapat bersaing sangatlah sulit, hal ini disebabkan tidak hanya karena keterbatasan kesempatan yang ada tetapi juga karena keterbatasan kemampuan yang di miliki oleh sesorang dalam menekuni bidang yang dia miliki. Maka dari itu penguasaan bidang yang dimiliki sangatlah penting untuk menunjang kesempata untuk mendapatkan perkerjaan atau profesi yang akan dicapai.
Didalam dunia pendidikan, perguruan-perguruan tinggi secara intensif mengembangkan kemampuan mahaiswanya yang dipersiapkan untuk terjun ke dalam masyarakat agar mampu bersaing. Di dunia perkuliahan mahasiswa diberikan teori-teori yang akan menunjang kemampuan mahasiswa untuk meningkatkan kemapuan diri seorang mahasiswa, namun dengan diberikan teori-teori didalam bangku perkuliahan tidaklah cukup untuk mengembangkkan kemampuan mahasisiwa secara efektif, dibutuhkan suatu praktek yang dapat berfungsi sebagai penyaluran teori-teori yang didapatkan seorang mahasiswa dalam dunia pekerjaan sehingga pengembangan kemampuan mahasiswa sesuai dengan bidang keilmuannya dapat berjalan dengan efektif dan selain dengan adanya penyaluran praktek didalam dunia pekerjaan mahasiswa juga mendapatkan gambaran nyata mengenai bidang keilmuannya dalam dunia pekerjaan.
Pentingnya praktek untuk menerapkan keilmuan yang didapat sudah didapat di perkuliahan menjadi pilihan bagi kebanyakan Perguruan Tinggi yang dikenal sebagai Praktek Kerja Lapangan atau Magang untuk dapat menjembatani mahasiswa dalam penerapan ilmunya di istitusi atau lembaga yang berkaitan dengan keilmuannya. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah salah satu dari sekian lembaga Negara yang sangat berkaitan erat dengan bidang keilmuan hukum. Sehingga Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah salah satu Lembaga yang tepat dalam menerapkan keilmuan dari mahasiswa fakultas hukum karena memiliki relevansi yang erat.
Praktek Kerja Lapangan merupakan praktek yang dilaksanakan oleh mahasiswa dalam jangka waktu 30 hari dengan ditempatkan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki oleh mahasiswa didalam institusi dengan mendapatkan pengarahan dan bimbingan oleh pembimbing dari institusi. Mahasiswa dalam menjalankan praktek kerja tersebut diharapkan dapat menjadi problem solver, mengidentifikasi masalah yang ada di institusi, menganalisis kesesuaian praktek lapangan dengan teori, dan menjalankan tugas-tugas yang diberikan.
Praktek Kerja Lapangan atau magang ini ditujukan sesuai dengan keilmuan hukum yang mengacu kepada analisis peraturan perundang-undangan dan proses persidangan pengujian undang-undang . Oleh karena itu, pemilihan tempat Praktek Kerja Lapangan  di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memiliki wewenangnya yang alah satunya adalah untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar 1945 ini sangat sesuai dengan bidang keilmuan mahasiswa Fakultas Hukum.

C.    LANDASAN KERJA PRAKTEK

Salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum

D.    MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun maksud dan tujuan kerja praktek ini adalah:
a.      Mengenali dan mencari jawaban masalah dengan mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan.
b.     Memperoleh masukan informasi yang tidak didapat diperkuliahan.
c.      Sebagai koreksi kemampuan mahasiswa belajar dalam program studi yang diambil.
d.     Untuk memperdalam bidang keilmuan melalui ilmu praktek yang akan dijalankan.
e.      Bagi perusahaan, program Kerja Praktek ini diharapkan dapat berguna dalam melakukan perbaikan dengan memanfaatkan keahlian dan keterampilan mahasiswa untuk membantu memecahkan permasalahan keteknik-industrian yang dihadapi oleh perusahaan.

E.    WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN

Berdasarkan kebijakan dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menerapkan kebijakan penerimaan mahasiswa magang hany pada bulan Januari, Juni dan Oktober, maka pada kesempatan ini saya mengajukan untuk melaksanakan Praktek Kerja Lapangan mulai tanggal 01 Juni 2017 sampai dengan 01 Juli 2017 (1 bulan). Namun apabila dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki kebijakan lain terkait dengan penetuan tanggal, saya berharap agar tanggal yang diajukan tersebut dipertimbangkan.

Praktek Kerja Lapangan akan dilaksanakan di :
Nama Lembaga          : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Alamat Lembaga        : Jl. Merdeka Barat No. 6, RT.2/RW.3, Gambir, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10110

F.     PESERTA KERJA PRAKTEK

Peserta Praktek Kerja Lapangan Mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
Nama                                      : I Nyoman Yoga Ariadnya
NIM                                        : 3.13.1.1180
Jurusan                                    : Ilmu Hukum
Fakultas                                  : Hukum
Semester                                 : VIII (Delapan)
Tempat, Tanggal Lahir           : Badung, 9 Agustus 1995
Alamat                                 : Jalan Raya Uluwatu Pecatu, Nomor 50 X, Kuta Selatan, Badung, Bali
(CV Terlampir)


G.   PENUTUP

Demikian proposal ini dibuat sebenar-benarnya dengan harapan dapat memberikan gambaran singkat dan jelas tentang maksud dan tujuan diadakan Praktek Kerja Lapangan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Besar harapan kami kepada segenap pimpinan, pejabat dan staf Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk berkenan menyetujui proposal ini dan membimbing kami selama kerja praktek sehingga tujuan utama dalam pelaksanaan kerja praktek lapangan ini dapat tercapai. Kami mengharap dapat tercipta hubungan baik dan kerjasama yang saling menguntungkan dengan Universitas Pendidikan Nasional, khususnya bagi mahasiswa Fakultas Hukum.

            Kami sadar bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mohon saran dan kritik dari bapak/ibu yang berkepentingan dengan pelaksanaan kerja praktek ini sehingga kegiatan kerja praktek dapat berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan keinginan dan peraturan-peraturan yang berlaku di perusahaan.

Kamis, 16 Februari 2017

KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang  akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai  pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious  liability,  erfolgshaftung,  kesesatan  atau  error,  rechterlijk  pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak  pidana. Maka  dari itu ada  pula ketentuan  tentang subjek berupa korporasi. Semua asas itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan“. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia. Maka dari itu penulis akan membahas mengenai konsepsi dari suatu pertanggungjawaban pudana.
B.    RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana penjabaran mengenai konsepsi suatu pertanggungjawaban pidana?



Surat Perjanjian Perdamaian

Sample
Case : Perdata Jual-Beli Tanah

……………………………..
Surat Perjanjian Perdamaian
Kami yang bertandatangan di bawah ini:
1.     Nama                                      : ……………………………………………………..
Agama                                    : ……………………………………………………..
Alamat                                    : ……………………………………………………..
Tempat, Tanggal Lahir           : ……………………………………………………..
Pekerjaan                                : ……………………………………………………..
Selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.
2.     Nama                                      : ……………………………………………………..
Agama                                    : ……………………………………………………..
Alamat                                    : ……………………………………………………..
Tempat, Tanggal Lahir           : ……………………………………………………..
Pekerjaan                                : ……………………………………………………..
Selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
Berkenaan dengan kasus sengketa jual beli tanah yang dengan nomor perkara: 001/Pdt/Pn.JKT/II/2017 antara PIHAK PERTAMA yang bernama ………………….. sebagai penjual dan PIHAK KEDUA yang bernama ………………… sebagai pembeli bersepakat terkait dengan penyelesaian perkara jual-beli tanah dengan cara kekeluargaan dengan isi dari kesepakatan adalah sebagai berikut :
a.      Bahwa PIHAK KEDUA akan membayar kewajiban pembelian tanah yang dimiliki oleh PIHAK PERTAMA dengan batas akhir sampai dengan tanggal 9 Agustus 2017.
b.     Bahwa jika PIHAK KEDUA tidak dapat menyelesaikan kewajiban yang harus diselesaikan kepada PIHAK PERTAMA maka para pihak bersepakat untuk membatalkan perjanjian jual-beli.
c.      Bahwa para pihak dalam melaksanakan perdamaian ini tidak ada dorongan maupun paksaan dari pihak manapun.
Demikianlah perjanjian ini dibuat atas kesadaran dari kedua belah pihak untuk melaksanakan perdamaian dan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Pihak Pertama

……………………………..
Jakarta, 13 Februari 2017
Pihak Kedua

……………………………..

Saksi

……………………………..
Note : Letak Pihak Pertama di Kiri, Pihak Kedua di Kanan ya  

KORELASI PRA PERADILAN MEMUTUS PENETAPAN STATUS TERSANGKA DENGAN KEWENANGAN PENYIDIK DALAM PENETAPAN STATUS TERSANGKA

Ditulis Oleh : 
1. Yoga Ariadnya
2. Ita Utari
3. Diah Indrawati

KORELASI PRA PERADILAN MEMUTUS PENETAPAN STATUS TERSANGKA DENGAN KEWENANGAN PENYIDIK DALAM PENETAPAN STATUS TERSANGKA

A.    PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan integrated criminal justice system[1]. Dalam penerapannya sangat bersentuhan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga diperlukan suatu lembaga yang berperan untuk mengawasi penerapannya. pra peradilan adalah lembaga kontrol peradilan yang ketat (strict judicial sctuting) terhadap semua tindakan perampasan kebebasan sipil seseorang.
Pra peradilan menurut Andi Hamzah adalah tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terkait dengan penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Apabila dilihat proses pembentukan KUHAP niat dibentuknya praperadilan adalah sebagai “terjemahan” dari habeas corpus. Habeas Corpus merupakan konsep bahwa tak seorang warga negara dapat ditahan, atau dirampas harta kekayaannya, atau diasingkan, atau dengan cara apapun dikebiri hak-haknya kecuali dengan pertimbangan hukum.[2] Konsep habeas corpus merupakan substansi HAM[3], karena memberikan Hak perlindungan Hukum bagi warga Negara dari tindakan pengekangan terhadap kemerdekaannya, khususnya dalam bentuk penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara semena-mena oleh badan-badan pemerintah.
Hukum acara dirancang untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang biasanya disebut sebagai “due proses of law” untuk mencari keadilan yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam penyelidikan hingga proses pengadilan. Berdasarkan Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945[4] “hukum acara pidana merupakan implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai ketentuan konstitusional dalam UUD 1945.[5] Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas Legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.[6] Berdasarkan ketentuan Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945, proses peradilan pidana di Indonesia menggunakan sistem due proses of law, yakni untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil. Dalam tradisi sistem civil law asas legalitas yang diterapkan secara ketat yaitu : lex scripta, lex stricta, lex certa. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHAP[7] terlihat jelas bahwa proses penyidikan merupakan proses untuk mengumpulkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang ditangani, sehingga perbuatan tindak pidana tersebut menjadi terang siapa pelakunya, namun pada kenyataannya menimbulkan pengertian yang bersifat multitafsir mengenai cukup bukti dan bukti permulaan yang cukup, sehingga hal ini bertentangan dengan asas : Lex scripta, yakni penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis; Lex stricta, yakni pembuat undang-undang (legislative) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana; Lex certa, yakni ketentuan hukum harus tertulis, pembuat Undang-Undang (Legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.
Berdasarkan asas lex certa dan lex scripta ini, pengertian yang multitafsir itu bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menimbulkan kesewenang-wenangan yang secara nyata bertentangan dengan prinsip due proses of law. Lembaga Praperadilan diberi wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga Praperadilan ini dimaksudkan sebagai wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa pokok perkara. Terkait dengan wewenang tersebut diatas, wewenang Praperadilan berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus :
a.      Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka dan atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan.
b.     Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau peghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan ;
c.      Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan kepengadilan
Mengenai penetapan status tersangka berdasarkan Pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Kapolri Nomor12 tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa :
1.     Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada sesorang setelah hasil penyidikan yang telah dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit dua jenis alat bukti.
2.     Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit dua alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan  melalui gelar perkara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Penetapan status tersangka perlu ada bukti permulaan terlebih dahulu agar bisa seseorang ditetapkan bersalah atau sebagai tersangka. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia berbunyi “bukti permulaan adalah alat bukti berupa laporan polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindakan pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan”. Bukti permulaan dapat digunakan sebagai dasar penetapan tersangka yang berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP Jo Pasal 17 KUHAP diberi pengertian sebagai “ serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindakan pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”[8]. Seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka dengan dasar bukti permulaan yang cukup dengan adanya bukti berupa Laporan Polisi dan satu alat bukti yang sah dalam penetapan status tersangkanya. Jika sebelumnya berdasarkan Pasal 77 huruf (a) KUHAP penetapan status tersangka tidak termasuk kedalam objek Praperadilan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 21//PUU-XII//2014 tentang Putusan Permohonan Perkara Tersangka Korupsi Bioremediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah. Mahkamah Konstitusi telah menetapkan penetapan status tersangka kedalam objek Praperadilan dengan berdasarkan pada pertimbangan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara Hukum sehingga harus menjunjung tinggi asas due proses of law Asas ini merupakan perjuangan melawan tindakan sewenang-wenang, yang pada awal sejarahnya diperjuangkan oleh raja-raja kecil yang merupakan symbol kekal perlawanan yang sukses dalam melawan kegiatan kerajaan. Sistem yang dianut KUHAP ini yang memposisikan tersangka atau terdakwa sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dimuka hukum memberikan mekanisme kontrol terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum melalui Praperadilan. Penegakan hukum tersebut harus sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 alenia ke-empat, “membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pada hakikatnya hukum acara pidana adalah sarana untuk memberi perlindungan kepada tersangka atau terdakwa dan hal tersebut bukan merupakan kebajikan dari Penyidik, Penuntut umum, atau Hakim dalam proses hukum. Maka dari hukum acara pidana yang bukan sebagai kebajikan maka pelaksanaan kontrol terhadap hukum acara tersebut perlu dilakukan secara ketat sebab perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa bukan kebajikan dari Penyidik, Penuntut, dan Hakim melainkan hak dasar yang diberikan oleh UUD 1945.
B.    PEMBAHASAN
1.     Tinjauan Umum Praperadilan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penetapan tersangka belum menjadi topik yang sangat penting karena pada saat itu pengaturan dalam KUHAP hanya dimaknai sebatas terhadap penangkapan, penahan, penyidikan dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP. Kini upaya paksa telah banyak mengalami perkembangan, salah satunya adalah “status penetapan tersangka oleh Praperadilan”. Praperadilan merupakan Lembaga kontrol horizontal Untuk memperketatnya pengawasan terhadap pengadilan dengan tindakan upaya paksa aparat yang sewenang-wenang maka diperlukan adanya pengawasan horizontal oleh lembaga Praperadilan yang membatasi tindakan sewenang-wenang penegak hukum agar sesuai dengan amanat dari pada UUD 1945 alenia ke-empat “melindungi segenap bangsa Indonesia”.
Mekanisme praperadilan dipergunakan untuk menegakkan hukum dan Hak Asasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang harus diperhatikan dalam proses penetapan tersangka dalam proses penyidikan, penyelidikan, serta penuntutan prosedur penyidikan sebelum orang tersebut dikatakan tersangka dengan melalui proses hukum yang benar didahului dengan adanya bukti permulaan yang cukup berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP[9], untuk menetapkan tersangka dari tindak pidana tersebut. Dimasukkannya penetapan status tersangka kedalam objek Praperadilan karena memperhatikan perlakuan yang sama terhadap seseorang dalam proses pidana yang mempunyai harkat dan martabat yang sama dimuka hukum sesuai dengan asas equality before the law.
Berdasarkan ketentuan Pasal 77 KUHAP yang hanya mengatur kewenangan Praperadilan sebatas dalam hal pengujian sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penyelidikan, ganti rugi serta rehabilitasi yang kaitannya dengan bukti permulaan dalam hal pengujian prosedur penetapan seorang sebagai tersangka sudah terpenuhi atau belum dalam proses penyidikan yang dilakukan, dan bukan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan seseorang sebagai tersangka.[10]
Kewenangan hakim dalam sidang Praperadilan, yaitu pemeriksaan sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan akibat sahnya penghentian penyidikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 KUHAP, terdapat mekanisme mengenai proses sidang praperadilan :
a.      Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
b.     Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.
c.      Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
d.     Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur.
e.      Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
Berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (2) berbunyi “putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 harus memuat dengan jelas  dasar alasannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (2) KUHAP mengatur tentang acara pra-peradilan bahwa pra-peradilan dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera Pengganti.
Penetapan seseorang sebagai tersangka diperlukan adanya minimal 2 (dua) bukti permulaan agar dugaan kepada seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dapat dikatakan sah dalam proses penyidikan dan penetapannya sebagai tersangka[11]. Sehingga praperadilan difungsikan sebagai kontrol dalam mengawasi proses peradilan pidana di Indonesia dengan melihat prosedur hukum yang benar sehingga kedepannya bisa meminimalisir seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa prosedur yang sah.
2.     Perlindungan Hak Konstitusional Tersangkan melalui Sidang Praperadilan
Praperadilan dalam penentuan status tersangka memiliki wewenang terhadap sah atau tidaknya suatu proses penangkapan, penahanan, penyidikan dan penuntutan. Jika dikembalikan pada asas presumption of guilty (asas praduga bersalah) yang menjadi dasar terhadap seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka, makna pada asas yang bersifat deskriktif factual ini yang disandarkan pada dua alat bukti permulaan yang baru bisa menetapkan status sah atau tidaknya seseorang sebagai tersangka[12].
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945[13], praperadilan digunakan sebagai pengawas dari lembaga pengadilan untuk melindungi hak asasi tersangka/terdakwa dari upaya paksa/kesewenang-wenangan penyidik dalam penyelidikan maupun penuntutan. Hakim diperkenankan menafsirkan lebih luas suatu peraturan disaat peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan membuat suatu kaidah hukum disaat terjadinya suatu kekosongan Hukum.
Tujuan praperadilan adalah melindungi Hak Asasi manusia dari kesewenang-wenangan upaya paksa penyidik dalam melakukan penyidikan dan kesewenang-wenangan Penuntut umum. Karena pada hakekatnya hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, berdasarkan ketentuan Pasal 10  ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.[14] Berdasarkan ketentuan Pasal 77 KUHAP, tidak mengatur sama sekali  tentang sah atau tidaknya  status tersangka melalui praperadilan tapi dalam proses acara praperadilan yang dipimpin oleh hakim tunggal, hakim dapat membuat penafsiran terhadap sah atau tidaknya Penetapan status tersangka. Sesuai dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berkaitan dengan asas equality before the law (kesamaan dihadapan hukum) bahwa setiap orang memiliki hak yang sama serta dipandang sama dimuka hukum dalam pengawasan terhadap hak-haknya sebagai warga negara dengan melindungi hak atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dimuka hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, sebagai dasar landasan hakim dalam melakukan terobosan hukum dalam memutuskan penetapan tersangka dalam sidang praperadilan.[15] Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis (the democratic rule of law) sebagaimana negara-negara demokratis lainnya sudah seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum dalam penerapan proses hukum (due proses of law)[16] terhadap warga negaranya[17].
Kewenangan Hakim dalam penentapan status tersangka memang tidak diatur sah atau tidaknya dalam pasal 77 KUHAP, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 22 AB, bahwa hakim dapat dikenakan sanksi jika menolak mengadili perkara atas alasan tidak ada undang-undangnya, maka dari itu hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menggali kemudian memahami nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat saat terjadinya kekosongan hukum sehingga menimbulkan suatu rasa keadilan dengan keterkaitannya terhadap asas kesamaan dihadapan hukum tercapai.
Penetapan status tersangka masuk kedalam objek praperadilan, dapat memberikan perlindungan terhadap seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik, serta penuntut . Tersangka atau terdakwa memiliki hak Konstitusional terhadap perlindungan hukum untuk melakukan pembelaan diri.
3.     Praperadilan Memutus Penetapan Status Tersangka Melumpuhkan Kewenangan Penyidik
Proses peradilan pidana merupakan intregated criminal justice sistem[18] yaitu sistem peradilan perkara pidana secara terpadu yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana dalam upaya mencapai proses peradilan yang adil due proses of law[19], namun prinsip tersebut tidak dijalankan secara utuh yang mengakibatkan perlu adanya pengawasan dalam lembaga praperadilan, untuk mengawasi putusan hakim dalam mengambil keputusan agar tidak sewenang-wenang memutus atau menghentikan suatu perkara pidana. Bukti permulaan yang dijadikan dasar untuk penyidik melakukan penyelidikan terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana harus memenuhi syarat minimal adanya 2 bukti permulaan dimana penentuan seseorang untuk ditetapkan sebagai tersangka harus dilakukan sehati-hati mungkin tanpa mengabaikan hak-hak tersangka karena penyidikan adalah tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta pengumpulan bukti yang dengan bukti itu dapat memperjelas tindak pidana yang terjadi dan berdasarkan bukti-bukti itu pula ditetapkan tersangkanya, berdasarkan Pasal 1 angka 14[20], Pasal 17[21] dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP[22] terkait dengan Hak Konstitusional dalam proses penetapan tersangka harus didasarkan pada Bukti Permulaan yang cukup,demikian pula dengan upaya paksa seperti penangkapan harus berdasarkan atas bukti yang sah dalam penetapan dan penangkapannya[23].
Terbatasnya Kewenangan praperadilan dapat dilihat pada Bab X, berdasarkan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2009 tentang KUHAP. Pasal tersebut yang mengatur bahwa kewenangan praperadilan terbatas kewenangannya pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penuntutan termasuk pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap orang yang dirugikan.
Mengenai tepat atau tidaknya seseorang ditetapkan sebagai tersangka, sudah merupakan pokok dari perkara, karena terkait dari terbukti atau tidaknya seseorang sebagai pelaku tindak pidana. Untuk membuktikan seseorang sebagai pelaku tindak pidana, seharusnya melalui sidang pokok perkara, bukan melalui sidang praperadilan. Dalam sidang pokok perkara, dalam persidangan pembuktianlah sesorang tersebut dapat terbukti sebagai pelaku tindak pidana atau tidak. Pada sistem pembuktian terdapat berbagai macam teori didalam melakukan pembuktian harus memiliki paling sedikit dua alat bukti yang sah dan ditambah keyakinan hakim, Beban pembuktian adalah kewajiban salah satu pihak untuk membuktikan argumentasinya sesuai dengan doktrin pembuktian yang berlaku untuk perkara yang diadili[24].
Dalam penetapan status tersangka bukanlah objek praperadilan, karena dari penjelasan Pasal 77 dan pasal 95 KUHAP, tidak mengatur sama sekali mengenai penentuan sah atau tidaknya penetapan tersangka melalui praperadilan. Karena di dalam KUHAP sudah jelas yang menjadi objek dari praperadilan hanya mengenai penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan, penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan rehabilitasi. Putusan penetapan tersangka tetap pada pengadilan negeri, karena praperadilan hanya menguji prosedur nya saja.
Bukti permulaan yang cukup dalam penetapan status tersangka, harus berdasarkan 1 (satu) bukti dari kepolisian sebagai syarat penangkapan seseorang dikatakan bersalah dan barang bukti berupa alat maupun benda. Jadi jika penetapan status tersangka diberikan kewenangan kepada hakim tunggal yang mengadili kasus dipraperadilan dikhawatirkan hakim tersebut akan mengambil keputusan yang tergesa-gesa dalam menetapkan putusan tersangka yang hanya melihat pada sistem pembuktiannya berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah. Lembaga Praperadilan adalah untuk mengawasi berlangsungnya proses beracara dalam lembaga pengadilan dimana praperadilan hanya sebagai pengawas horizontal dan jika kewenangan sepenuhnya dilimpahkan maka akan melemahkan fungsi pengadilan sebagi penetap putusan tersebut.
C.    PENUTUP
Kesimpulan dan Gagasan
Kewenangan Hakim dalam penentapan status tersangka memang tidak diatur sah atau tidaknya dalam pasal 77 KUHAP, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 22 AB, bahwa hakim dapat dikenakan sanksi jika menolak mengadili perkara atas alasan tidak ada undang-undangnya, maka dari itu hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menggali kemudian memahami nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat saat terjadinya kekosongan hukum sehingga menimbulkan suatu rasa keadilan dengan keterkaitannya terhadap asas kesamaan dihadapan hukum tercapai. Penetapan status tersangka masuk kedalam objek praperadilan, dapat memberikan perlindungan terhadap seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik, serta penuntut . Tersangka atau terdakwa memiliki hak Konstitusional terhadap perlindungan hukum untuk melakukan pembelaan diri. sama dimuka hukum Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang hubungannya dengan asas equality before the law.
Apabila praperadilan penetapan status tersangka diberikan kewenangan kepada hakim tunggal yang mengadili kasus penetapan status tersangka, dikhawatirkan hakim tersebut akan mengambil keputusan yang tergesa-gesa dalam menetapkan putusan tersangka yang hanya melihat pada sistem pembuktiannya berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah. Lembaga Praperadilan adalah untuk mengawasi berlangsungnya proses beracara dalam lembaga pengadilan dimana praperadilan hanya sebagai pengawas horizontal dan jika kewenangan sepenuhnya dilimpahkan maka akan melemahkan fungsi pengadilan sebagi penetap putusan tersebut.



Daftar Pustaka


Andi Hamzah, 1993, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika.
Adnan Buyung Nasution,1997, Instrument Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Darji Darmodiharjo, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum di Indonesia, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Efi Laila Kholis, 2008, Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta:Niaga Swadyaya
Frans Hendra Winarta, 2009, Hak Konstitusional Fakir Miskir Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
ICJR, 2014, Praperadilan di Indonesia, Teori, Sejarah dan Praktiknya, Jakarta:Institute for Criminal Justice Reform.
Rocky Marbun, 2011, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, Jakarta:Transmedia.
Setiyono, 2010, Menghadapi Kasus Pidana, Jakarta:Raih Asa Sukses
Supriyadi Widodo,2014, Praperadilan Di Indonesia, Teori, Praktik, dan Sejarahnya, Jakarta:Institute for Criminal Justice Reform
Yayasan Obor Indonesia,2007,Panduan Bantuan Hukum di Indonesia : Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: YLBHI dan PSHK
Yesmil Anwar,2008, Pengantar Sosiologi Hukum, Bandung:PT Grasindo.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
                 , Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
                 ,Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21://PPU-XII//2014, tentang Putusan Bactiar Abdul Fatah
Jimly Asshiddiqie “Pemikiran Prinsip Pokok Negara Hukum”, http://www.jimly.com/pemikiran/view/11, diakses tanggal 28 April 2015.
Damang, 10 Februari 2015 “Penetapan Tersangka Bukan Wewenang Praperadilan” http://www.negarahukum.com/hukum/penetapan-tersangka-bukan-wewenang-praperadilan.html



[1] Supriyadi Widodo, Praperadilan Di Indonesia, Teori, Praktik, dan Sejarahnya, (Jakarta:Institute for Criminal Justice Reform, 2014), hlm. 4.
[2] ICJR, Praperadilan di Indonesia, Teori, Sejarah dan Praktiknya, (Jakarta:Institute for Criminal Justice Reform, 2014), hlm. 11.
[3] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika,1993).hlm.  4.
[4] Lihat Ketentuan Pasal 28 I ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945 “ untuk menegakkan dan melindungi hak asasi sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin , diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang undangan”.
[5] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21://PPU-XII//2014, tentang Putusan Bactiar Abdul Fatah
[6] Jimly Asshiddiqie, Pemikiran Prinsip Pokok Negara Hukum, http://www.jimly.com/pemikiran/view/11, diakses tanggal 28 April 2015.
[7] Lihat Ketentuan Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
[8] Chandra M.Hamzah, Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014), hlm. 140.
[9] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “penyidik adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
[10]Damang, 10 Februari 2015 “Penetapan Tersangka Bukan Wewenang Praperadilan” http://www.negarahukum.com/hukum/penetapan-tersangka-bukan-wewenang-praperadilan.html, diakses tanggal 25 April 2015.

[11] Setiyono, Menghadapi Kasus Pidana, (Jakarta:Raih Asa Sukses,2010), hlm. 17.
[12]Adnan Buyung Nasution, Instrument Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,1997), hlm. 100.
[13] Lihat Ketentuan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 “setiap orang berhak atas pengakuan,jaminan,perlindungan,dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
[14] Lihat Ketentuan ketentuan Pasal 10  ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa Hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
[15] Lihat ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Lihat Ketentuan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi , keluarga, kehormatan, harkat dan martabat benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan Perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi”
[16] Due proses of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil konsep ini terdapat dalam konsep hak-hak fundamental serta konsep kebebasan dan kemerdekaan yang tertib.
[17] Efi Laila Kholis, Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:Niaga Swadyaya,2008),hlm. 15.
[18]Unsur penyelenggaraan peradilan pidana seperti penyidik,penuntutan,pengadilan dan lembaga permasyarakatan harus mempunyai kesamaan persepsi,sehingga peradilan dapat berjalan harmonis.
[19] Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum di Indonesia, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2006), hlm. 284.
[20] Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
[21] Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup””
[22] Pasal 21 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “ perintah atau penahanan lanjut terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindakan pidana keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”
[23] Frans Hendra Winarta, Hak Konstitusional Fakir Miskir Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, (Jakarta:PT gramedia pustaka utama,  2009), hlm. 29
[24] Rocky Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, (Jakarta:Transmedia,2011), hlm.97