Ditulis Oleh :
1. Yoga Ariadnya
2. Ita Utari
3. Diah Indrawati
KORELASI PRA
PERADILAN MEMUTUS PENETAPAN STATUS TERSANGKA DENGAN KEWENANGAN PENYIDIK DALAM
PENETAPAN STATUS TERSANGKA
A.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah
satu negara yang menerapkan integrated
criminal justice system.
Dalam penerapannya sangat bersentuhan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM). Sehingga diperlukan suatu lembaga yang berperan untuk mengawasi
penerapannya. pra peradilan adalah lembaga kontrol peradilan yang ketat (strict judicial sctuting) terhadap semua
tindakan perampasan kebebasan sipil seseorang.
Pra peradilan menurut
Andi Hamzah adalah tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terkait
dengan penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Apabila dilihat proses pembentukan KUHAP niat dibentuknya praperadilan adalah
sebagai “terjemahan” dari habeas corpus.
Habeas Corpus merupakan konsep bahwa
tak seorang warga negara dapat ditahan, atau dirampas harta kekayaannya, atau
diasingkan, atau dengan cara apapun dikebiri hak-haknya kecuali dengan
pertimbangan hukum.
Konsep habeas corpus merupakan
substansi HAM,
karena memberikan Hak perlindungan Hukum bagi warga Negara dari tindakan
pengekangan terhadap kemerdekaannya, khususnya dalam bentuk penangkapan dan
penahanan yang dilakukan secara semena-mena oleh badan-badan pemerintah.
Hukum acara dirancang
untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang biasanya disebut
sebagai “due proses of law” untuk
mencari keadilan yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam
penyelidikan hingga proses pengadilan. Berdasarkan Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945
“hukum acara pidana merupakan implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai
ketentuan konstitusional dalam UUD 1945.
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas Legalitas dalam
segala bentuknya (due process of law),
yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945, proses peradilan pidana di
Indonesia menggunakan sistem due proses
of law, yakni untuk mendapatkan
kepastian hukum yang adil. Dalam tradisi sistem civil law asas legalitas yang diterapkan secara ketat yaitu : lex scripta, lex stricta, lex certa. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHAP
terlihat jelas bahwa proses penyidikan merupakan proses untuk mengumpulkan
bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang ditangani, sehingga
perbuatan tindak pidana tersebut menjadi terang siapa pelakunya, namun pada
kenyataannya menimbulkan pengertian yang bersifat multitafsir mengenai cukup
bukti dan bukti permulaan yang cukup, sehingga hal ini bertentangan dengan asas
: Lex scripta, yakni penghukuman harus didasarkan pada
undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis; Lex stricta, yakni pembuat undang-undang (legislative) harus merumuskan secara jelas
dan rinci mengenai perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana; Lex certa, yakni ketentuan hukum harus
tertulis, pembuat Undang-Undang (Legislatif) harus merumuskan secara jelas dan
rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.
Berdasarkan asas lex certa dan lex scripta ini, pengertian yang multitafsir itu bertentangan
dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menimbulkan kesewenang-wenangan yang
secara nyata bertentangan dengan prinsip due
proses of law. Lembaga Praperadilan diberi wewenang untuk melakukan pengawasan
terhadap penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum dalam hal ini
Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga Praperadilan ini dimaksudkan sebagai wewenang
dari pengadilan sebelum memeriksa pokok perkara. Terkait dengan wewenang
tersebut diatas, wewenang Praperadilan berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa Praperadilan adalah wewenang
pengadilan untuk memeriksa dan memutus :
a.
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan
atau penahanan atas permintaan tersangka dan atau keluarganya atau permintaan
yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan.
b.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau peghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya
hukum dan keadilan dan ;
c.
Permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang
perkaranya tidak diajukan kepengadilan
Mengenai penetapan
status tersangka berdasarkan Pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Kapolri Nomor12
tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa :
1.
Status sebagai tersangka hanya dapat
ditetapkan oleh penyidik kepada sesorang setelah hasil penyidikan yang telah
dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit dua
jenis alat bukti.
2.
Untuk menentukan memperoleh bukti
permulaan yang cukup yaitu paling sedikit dua alat bukti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditentukan melalui gelar
perkara.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana. Penetapan status tersangka perlu ada bukti permulaan terlebih dahulu
agar bisa seseorang ditetapkan bersalah atau sebagai tersangka. Berdasarkan
Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik
Indonesia berbunyi “bukti permulaan adalah alat bukti berupa laporan polisi dan
1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang
telah melakukan tindakan pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan”.
Bukti permulaan dapat digunakan sebagai dasar penetapan tersangka yang berdasarkan
Pasal 1 angka 2 KUHAP Jo Pasal 17
KUHAP diberi pengertian sebagai “ serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. penangkapan dilakukan terhadap seseorang
yang diduga keras melakukan tindakan pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup”.
Seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka dengan dasar bukti permulaan yang
cukup dengan adanya bukti berupa Laporan Polisi dan satu alat bukti yang sah
dalam penetapan status tersangkanya. Jika sebelumnya berdasarkan Pasal 77 huruf
(a) KUHAP penetapan status tersangka tidak termasuk kedalam objek Praperadilan.
Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi 21//PUU-XII//2014 tentang Putusan Permohonan
Perkara Tersangka Korupsi Bioremediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah. Mahkamah Konstitusi telah menetapkan
penetapan status tersangka kedalam objek Praperadilan dengan berdasarkan pada
pertimbangan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara Hukum sehingga harus
menjunjung tinggi asas due proses of law
Asas ini merupakan perjuangan melawan tindakan sewenang-wenang, yang pada awal
sejarahnya diperjuangkan oleh raja-raja kecil yang merupakan symbol kekal
perlawanan yang sukses dalam melawan kegiatan kerajaan. Sistem yang dianut
KUHAP ini yang memposisikan tersangka atau terdakwa sebagai subjek manusia yang
mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dimuka hukum memberikan
mekanisme kontrol terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum
melalui Praperadilan. Penegakan hukum tersebut harus sesuai dengan ketentuan Pancasila
dan UUD 1945. Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 alenia ke-empat, “membentuk suatu pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Pada hakikatnya hukum
acara pidana adalah sarana untuk memberi perlindungan kepada tersangka atau
terdakwa dan hal tersebut bukan merupakan kebajikan dari Penyidik, Penuntut
umum, atau Hakim dalam proses hukum. Maka dari hukum acara pidana yang bukan
sebagai kebajikan maka pelaksanaan kontrol terhadap hukum acara tersebut perlu
dilakukan secara ketat sebab perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa bukan
kebajikan dari Penyidik, Penuntut, dan Hakim melainkan hak dasar yang diberikan
oleh UUD 1945.
B.
PEMBAHASAN
1.
Tinjauan
Umum Praperadilan
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penetapan
tersangka belum menjadi topik yang sangat penting karena pada saat itu
pengaturan dalam KUHAP hanya dimaknai sebatas terhadap penangkapan, penahan,
penyidikan dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP. Kini upaya paksa telah
banyak mengalami perkembangan, salah satunya adalah “status penetapan tersangka
oleh Praperadilan”. Praperadilan merupakan Lembaga kontrol horizontal Untuk
memperketatnya pengawasan terhadap pengadilan dengan tindakan upaya paksa
aparat yang sewenang-wenang maka diperlukan adanya pengawasan horizontal oleh
lembaga Praperadilan yang membatasi tindakan sewenang-wenang penegak hukum agar
sesuai dengan amanat dari pada UUD 1945 alenia ke-empat “melindungi segenap bangsa
Indonesia”.
Mekanisme praperadilan
dipergunakan untuk menegakkan hukum dan Hak Asasi berdasarkan Undang-Undang Nomor
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang harus diperhatikan dalam proses
penetapan tersangka dalam proses penyidikan, penyelidikan, serta penuntutan
prosedur penyidikan sebelum orang tersebut dikatakan tersangka dengan melalui
proses hukum yang benar didahului dengan adanya bukti permulaan yang cukup berdasarkan
Pasal 1 angka 2 KUHAP,
untuk menetapkan tersangka dari tindak pidana tersebut. Dimasukkannya penetapan
status tersangka kedalam objek Praperadilan karena memperhatikan perlakuan yang
sama terhadap seseorang dalam proses pidana yang mempunyai harkat dan martabat
yang sama dimuka hukum sesuai dengan asas
equality before the law.
Berdasarkan ketentuan Pasal
77 KUHAP yang hanya mengatur kewenangan Praperadilan sebatas dalam hal
pengujian sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan,
atau penghentian penyelidikan, ganti rugi serta rehabilitasi yang kaitannya
dengan bukti permulaan dalam hal pengujian prosedur penetapan seorang sebagai
tersangka sudah terpenuhi atau belum dalam proses penyidikan yang dilakukan,
dan bukan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan seseorang sebagai tersangka.
Kewenangan hakim dalam
sidang Praperadilan, yaitu pemeriksaan sah tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan
akibat sahnya penghentian penyidikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 KUHAP, terdapat
mekanisme mengenai proses sidang praperadilan :
a.
Dalam waktu tiga hari setelah
diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
b.
Dalam memeriksa dan memutus tentang sah
atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat
pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari
pejabat yang berwenang.
c.
Pemeriksaan tersebut dilakukan secara
cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya.
d.
Dalam hal suatu perkara sudah mulai
diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan
kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur.
e.
Putusan praperadilan pada tingkat
penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan
lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan
permintaan baru.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 82 ayat (2) berbunyi “putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan
mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 harus
memuat dengan jelas dasar alasannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (2) KUHAP mengatur tentang acara pra-peradilan
bahwa pra-peradilan dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua
Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera Pengganti.
Penetapan seseorang
sebagai tersangka diperlukan adanya minimal 2 (dua) bukti permulaan agar dugaan
kepada seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dapat dikatakan sah dalam
proses penyidikan dan penetapannya sebagai tersangka.
Sehingga praperadilan difungsikan sebagai kontrol dalam mengawasi proses peradilan
pidana di Indonesia dengan melihat prosedur hukum yang benar sehingga
kedepannya bisa meminimalisir seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa
prosedur yang sah.
2.
Perlindungan
Hak Konstitusional Tersangkan melalui Sidang Praperadilan
Praperadilan dalam
penentuan status tersangka memiliki wewenang terhadap sah atau tidaknya suatu
proses penangkapan, penahanan, penyidikan dan penuntutan. Jika dikembalikan
pada asas presumption of guilty (asas
praduga bersalah) yang menjadi dasar terhadap seseorang bisa ditetapkan sebagai
tersangka, makna pada asas yang bersifat deskriktif
factual ini yang disandarkan pada dua alat bukti permulaan yang baru bisa
menetapkan status sah atau tidaknya seseorang sebagai tersangka.
Berdasarkan ketentuan Pasal
28 D ayat (1) UUD 1945,
praperadilan digunakan sebagai pengawas dari lembaga pengadilan untuk
melindungi hak asasi tersangka/terdakwa dari upaya paksa/kesewenang-wenangan
penyidik dalam penyelidikan maupun penuntutan. Hakim diperkenankan menafsirkan
lebih luas suatu peraturan disaat peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau
hakim diperkenankan membuat suatu kaidah hukum disaat terjadinya suatu
kekosongan Hukum.
Tujuan praperadilan
adalah melindungi Hak Asasi manusia dari kesewenang-wenangan upaya paksa
penyidik dalam melakukan penyidikan dan kesewenang-wenangan Penuntut umum.
Karena pada hakekatnya hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya,
berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan ketentuan Pasal 77 KUHAP,
tidak mengatur sama sekali tentang sah
atau tidaknya status tersangka melalui
praperadilan tapi dalam proses acara praperadilan yang dipimpin oleh hakim
tunggal, hakim dapat membuat penafsiran terhadap sah atau tidaknya Penetapan
status tersangka. Sesuai dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang berkaitan
dengan asas equality before the law (kesamaan
dihadapan hukum) bahwa setiap orang memiliki hak yang sama serta dipandang sama
dimuka hukum dalam pengawasan terhadap hak-haknya sebagai warga negara dengan
melindungi hak atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dimuka hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal
28 G ayat (1) UUD 1945, sebagai dasar landasan hakim dalam melakukan terobosan
hukum dalam memutuskan penetapan tersangka dalam sidang praperadilan. Negara Republik Indonesia sebagai
negara hukum yang demokratis (the
democratic rule of law) sebagaimana negara-negara demokratis lainnya sudah
seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum dalam penerapan
proses hukum (due proses of law)
terhadap warga negaranya.
Kewenangan Hakim dalam
penentapan status tersangka memang tidak diatur sah atau tidaknya dalam pasal
77 KUHAP, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 22 AB, bahwa hakim dapat dikenakan
sanksi jika menolak mengadili perkara atas alasan tidak ada undang-undangnya, maka
dari itu hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menggali kemudian
memahami nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat saat terjadinya
kekosongan hukum sehingga menimbulkan suatu rasa keadilan dengan keterkaitannya
terhadap asas kesamaan dihadapan hukum tercapai.
Penetapan status
tersangka masuk kedalam objek praperadilan, dapat memberikan perlindungan
terhadap seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik, serta penuntut . Tersangka
atau terdakwa memiliki hak Konstitusional terhadap perlindungan hukum untuk melakukan
pembelaan diri.
3.
Praperadilan
Memutus Penetapan Status Tersangka Melumpuhkan Kewenangan Penyidik
Proses peradilan pidana
merupakan intregated criminal justice
sistem
yaitu sistem peradilan perkara pidana secara terpadu yang berkaitan dengan
sistem peradilan pidana dalam upaya mencapai proses peradilan yang adil due proses of law, namun prinsip tersebut tidak dijalankan
secara utuh yang mengakibatkan perlu adanya pengawasan dalam lembaga
praperadilan, untuk mengawasi putusan hakim dalam mengambil keputusan agar
tidak sewenang-wenang memutus atau menghentikan suatu perkara pidana. Bukti
permulaan yang dijadikan dasar untuk penyidik melakukan penyelidikan terhadap
seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana harus memenuhi syarat
minimal adanya 2 bukti permulaan dimana penentuan seseorang untuk ditetapkan
sebagai tersangka harus dilakukan sehati-hati mungkin tanpa mengabaikan hak-hak
tersangka karena penyidikan adalah tindakan penyidikan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta pengumpulan bukti yang
dengan bukti itu dapat memperjelas tindak pidana yang terjadi dan berdasarkan
bukti-bukti itu pula ditetapkan tersangkanya, berdasarkan Pasal 1 angka 14,
Pasal 17
dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP
terkait dengan Hak Konstitusional dalam proses penetapan tersangka harus
didasarkan pada Bukti Permulaan yang cukup,demikian pula dengan upaya paksa
seperti penangkapan harus berdasarkan atas bukti yang sah dalam penetapan dan
penangkapannya.
Terbatasnya Kewenangan
praperadilan dapat dilihat pada Bab X, berdasarkan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2009 tentang KUHAP. Pasal tersebut yang mengatur bahwa kewenangan
praperadilan terbatas kewenangannya pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, atau penuntutan termasuk pemberian ganti kerugian dan
rehabilitasi terhadap orang yang dirugikan.
Mengenai tepat atau
tidaknya seseorang ditetapkan sebagai tersangka, sudah merupakan pokok dari
perkara, karena terkait dari terbukti atau tidaknya seseorang sebagai pelaku
tindak pidana. Untuk membuktikan seseorang sebagai pelaku tindak pidana,
seharusnya melalui sidang pokok perkara, bukan melalui sidang praperadilan.
Dalam sidang pokok perkara, dalam persidangan pembuktianlah sesorang tersebut
dapat terbukti sebagai pelaku tindak pidana atau tidak. Pada sistem pembuktian
terdapat berbagai macam teori didalam melakukan pembuktian harus memiliki
paling sedikit dua alat bukti yang sah dan ditambah keyakinan hakim, Beban pembuktian
adalah kewajiban salah satu pihak untuk membuktikan argumentasinya sesuai
dengan doktrin pembuktian yang berlaku untuk perkara yang diadili.
Dalam penetapan status
tersangka bukanlah objek praperadilan, karena dari penjelasan Pasal 77 dan
pasal 95 KUHAP, tidak mengatur sama sekali mengenai penentuan sah atau tidaknya
penetapan tersangka melalui praperadilan. Karena di dalam KUHAP sudah jelas
yang menjadi objek dari praperadilan hanya mengenai penangkapan, penahanan, penghentian,
penyidikan, penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan rehabilitasi.
Putusan penetapan tersangka tetap pada pengadilan negeri, karena praperadilan
hanya menguji prosedur nya saja.
Bukti permulaan yang
cukup dalam penetapan status tersangka, harus berdasarkan 1 (satu) bukti dari
kepolisian sebagai syarat penangkapan seseorang dikatakan bersalah dan barang
bukti berupa alat maupun benda. Jadi jika penetapan status tersangka diberikan kewenangan
kepada hakim tunggal yang mengadili kasus dipraperadilan dikhawatirkan hakim
tersebut akan mengambil keputusan yang tergesa-gesa dalam menetapkan putusan
tersangka yang hanya melihat pada sistem pembuktiannya berdasarkan 2 (dua) alat
bukti yang sah. Lembaga Praperadilan adalah untuk mengawasi berlangsungnya
proses beracara dalam lembaga pengadilan dimana praperadilan hanya sebagai
pengawas horizontal dan jika kewenangan sepenuhnya dilimpahkan maka akan
melemahkan fungsi pengadilan sebagi penetap putusan tersebut.
C.
PENUTUP
Kesimpulan
dan Gagasan
Kewenangan Hakim dalam
penentapan status tersangka memang tidak diatur sah atau tidaknya dalam pasal
77 KUHAP, tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 22 AB, bahwa hakim dapat dikenakan
sanksi jika menolak mengadili perkara atas alasan tidak ada undang-undangnya, maka
dari itu hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menggali kemudian
memahami nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat saat terjadinya
kekosongan hukum sehingga menimbulkan suatu rasa keadilan dengan keterkaitannya
terhadap asas kesamaan dihadapan hukum tercapai. Penetapan status tersangka
masuk kedalam objek praperadilan, dapat memberikan perlindungan terhadap
seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik, serta penuntut . Tersangka
atau terdakwa memiliki hak Konstitusional terhadap perlindungan hukum untuk melakukan
pembelaan diri. sama dimuka hukum Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang hubungannya
dengan asas equality before the law.
Apabila praperadilan penetapan
status tersangka diberikan kewenangan kepada hakim tunggal yang mengadili kasus
penetapan status tersangka, dikhawatirkan hakim tersebut akan mengambil
keputusan yang tergesa-gesa dalam menetapkan putusan tersangka yang hanya
melihat pada sistem pembuktiannya berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah.
Lembaga Praperadilan adalah untuk mengawasi berlangsungnya proses beracara
dalam lembaga pengadilan dimana praperadilan hanya sebagai pengawas horizontal
dan jika kewenangan sepenuhnya dilimpahkan maka akan melemahkan fungsi
pengadilan sebagi penetap putusan tersebut.
Daftar Pustaka
ICJR, 2014, Praperadilan
di Indonesia, Teori, Sejarah dan Praktiknya, Jakarta:Institute for Criminal
Justice Reform.
Supriyadi
Widodo,2014, Praperadilan Di Indonesia, Teori, Praktik, dan Sejarahnya,
Jakarta:Institute for Criminal Justice
Reform
Supriyadi Widodo,
Praperadilan Di Indonesia, Teori, Praktik, dan Sejarahnya, (Jakarta:Institute for Criminal Justice Reform, 2014),
hlm. 4.
ICJR, Praperadilan
di Indonesia, Teori, Sejarah dan Praktiknya, (Jakarta:Institute for
Criminal Justice Reform, 2014), hlm. 11.
Chandra M.Hamzah, Penjelasan
Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014), hlm. 140.
Lihat Ketentuan
Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “penyidik adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya”
Pasal 1 angka
14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana “tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”
Pasal 17 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana “perintah penangkapan
dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup””