Oleh : I Nyoman Yoga Ariadnya
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Setiap permasalahan pasti ada cara penyelesaian yang
sudah dijelaskan pada alternatif penyelesaian sengketa yaitu konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, penyelesaian melalui arbitrase
dan penyelesaian masalah melalui pola tradisi lokal. Namun seperti yang ketahui
ada alternatif penyelesaian sengketa ini memiliki beberapa keuntungan antara
lain cepat, murah, fleksibel, rahasia dan mendapatkan solusi yang menguntungkan
kedua belah pihak. Mediasi termasuk dalam salah satunya, dimana penhgertian
dari mediasi tersebut menurut Gary Goodpaster menyatakan bahwa mediasi adalah
proses negosiasi penyelsaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak
memihak (netral), tidak bekerja dengan pihak yang bersengketa, membantu mereka
mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Dalam makalah ini
penulis akan membahas tentang mediasi yang ada dipengadilan dan mediasi yang
ada diluar pengadilan dimana sangat banyak adanya perbedaan dan persamaan dari
kedua hal tersebut. Selain itu juga penulis akan membahas juga tentang dasar
hukum dari mediasi yang ada baik diluar maupun didalam pengadilan.
1.2. Rumusan
Masalah
1.2.1.
Apakah
perbandingan antara mediasi diluar pengadilan dengan mediasi didalam
penngadilan?
1.2.2.
Apakah
dasar hukum dari mediasi diluar pengadilan dan mediasi didalam pengadilan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perbandingan
Mediasi Didalam Pengadilan dan Diluar Pengadilan
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk mempeeroleh kesepaktan para pihak dengan dibantu oleh
mediator. Mediasi berasal dari bahasa inggris yang berati menyelesaikan
sengketa dengan menengahi. Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan
masalah, dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan
pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak
berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. Berikut adalah perbedaan dan persamaaan dari
mediasi yang ada dipengadilan dan diluar pengadilan.
2.1.1
Mediasi diluar lembaga pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui mediasi diluar
pengadilan bukan berarti mediasi tidak ada kaitan sama sekali dengan
pengadilan. Mediasi tetap memiliki keterkaitan dengan pengadilan terutama menyangkut hasil kesepakatan para
pihak dalam mediasi. Dalam pasal 24 PP No. 54 Tahun 2000 disebutkan dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut,
lembar asli atau salinan autentik kesepakatan diserahkan atau didaftarkan oleh
mediator atau pihak ketiga lainnya, atau salah satu pihak, atau para pihak yang
berrsengketa kepada PANITERA Pengadilan Negeri. Hal yang samaa juga diatur
dalam Pasal 6 Butir (8) UU No 30 Tahun 1999.
Proses pelaksanaan mediasi diluar pengadilan dalam
UU No 30 Tahun 1999 diatur dalam pasal 6, sedangkan dalam PP No 54 tahun 2000
diatur dalam Pasa 20 Sampai pasal 24. Ketentuan pasal 6 berbunyi:
1. Sengketa atau beda pendapat dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan mengenyampingkan penyelesaian secara
litigasi di pengadilan.
2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat
sebagai mana dimaksud dalam ayat (1 ) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh
para pihak dalam waktu 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam kesepakatan
tertulis.
3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat deselesaikan, maka atas
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda peendapat diselesaikan
melaui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator.
4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling
lama 14 hari dengan bantuan seorang atau lebh penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mmencapai kata sepakat, atau mediator todak
berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi
sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau
menujuk seorang mediator.
5. Setelah menujuk mediator atau lembaga arbitrase
atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu palin lama 7 hari
usaha mediasi sudah harus dapat dimulai.
6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 dengan memegang
teguh kerahasiaan, dalma waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan
dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk
dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di pengadilan negeri
dalam waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan.
8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 7 wajib selesai dilaksanakan
dalam waktu 30 hari sejak pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 - 6 tidak dapat
dicapai maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha penylesaiannya melalui lembaga arbitrase.
Dalam proses
pelaksanaan mediasi berdasarkan ketentuan Pasal 20 PP Tahun 2000 penunjukan
mediator dilakuukan oleh para pihak pada lembaga penyedia jasa. Mediator harus
secapat mungkin mendorong para pihak mencapai kesepakatan damai setelah itu
kesepakatan ditungakan dalma penjanjian tertulis ditas kertas bermaterai dan
ditandatangai oleh para pihak dan mediator. Jangaka waktu paling lama 30 hari
setelah itu maka lembaran asli dan salinan autentik kesepakatan diserahkan pada
Pengadilan Negeri.
2.1.2.
Mediasi Pada Lembaga Peradilan
Berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung RI No.2 tahun 2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses
beracara di pengadilan. Hal ini di tegaskan dalam pasal 2 Perma no.2 tahun
2003, berdasarkan ketentuan ini mengharuskan hakim sebelum melanjutkan proses
pemeriksaan perkara lebih dahulu menawarkan mediasi kepada para pihak yang
bersengketa. Penawaran ini bukanlah suatu bentuk pilihan tetapi merupakan
kewajiban yang harus diikuti oleh para pihak. Pasal 3 ayat (1) Perma No. 2
tahun 2003 menyebutkan bahwa pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah
pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara lebih dahulu menempuh
mediasi.
Namun pasal 3 ayat (1)
juga tidak mengemukakan konsekuensi hukum bagi para pihak yang menolak mediasi
atau bagi hakim yang tidak menawarkan mediasi. Bila di cermati bunyi pasal 3
Perma ini terlihat bahwa pihak yang menolak untuk melakukan mediasi tidak
membawa konsekuensi hukum apapun terhadap perkaranya, karena perkara tersebut
juga akan di lanjutkan bila mediasi yang ditempuh gagal. Hal ini bermakna
ketika para pihak bersikukuh pada pendiriannya tidak bersedia menerima mediasi
yang ditawarkan hakim, maka bukan berarti perkaranya tidak bisa di lanjutkan
oleh hakim. Dilanjutkan tidaknya suatu perkara sangat bergantung pada terpenuhi
tidaknya persyaratan formal perkara.
Demikian pula halnya
bagi hakim yang tidak menawarkan atau mewajibkan mediasi kepada para pihak,
bukan berarti ia tidak dapat melanjutkan proses pemeriksaan perkara. Hakim
menunda proses persidangan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk
menempuh proses mediasi (pasal 3 ayat 2 Perma No.2 tahun 2003). Jadi penundaan
sidang pada hari pertama, hanyalah memberikan kesempatan pada pihak untuk
melakukan mediasi dan bila mereka gagal dalam mediasi, maka perkara akan tetap
di lanjutkan berdasarkan proses hukum acara. Pada sidang pertama atau sebelum
proses mediasi di lakukan, hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak
mengenai prosedur dan biaya mediasi. Hal ini penting agar para pihak dapat
mengetahui mekanisme, prosedur dan biaya mediasi. Hal ini penting agar para
pihak dapat mengetahui mekanisme, prosedur dan biaya mediasi yang harus
dikeluarkan dalam proses mediasi.
Para pihak dapat
memilih mediator yang tersedia dalam daftar mediator di pengadilan, baik
mediator yang berasal dari hakim maupun mediator yang berasal dari luar
pengadilan. Bila para pihak menunjuk mediator yang berasal dari hakim, maka ia
tidak dikenakan biaya apapun sedangkan bila ia menunjuk mediator yang berasal
dari bukan hakim maka para pihak harus membayarkan jasa mediator yang jumlahnya
tergantung pada kesepakatan (pasal 15 Perma No. 2 tahun 2003). Bila para pihak
memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya, maka kuasa hukumlah yang melakukan
mediasi. Namun dalam proses mediasi berbeda dengan kewenangan yang dimiliki
kuasa hukum pada umumnnya, dimana keputusan yang di ambil kuasa hukum dalam
proses mediasi wajib memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak.
Kesepakatan yang diambil dalam suatu proses mediasi adalah final dan tidak dapat
dilakukan upaya hukum, sehingga pasal 3 Perma di sebutkan bahwa setiap
keputusan yang diambil kuasa hukum wajib memperoleh persetujuan tertulis. Kuasa
hukum yang memiliki surat kuasa, akan bertindak untuk dan atas nama pihak yang
memberikan kuasa. Surat kuasa tidak cukup baginya untuk menjadi dasar setiap
pengambilan keputusan dalam proses mediasi, tetapi keputusan yang ia ambil
tetap harus mendapat persetujuan tertulis.
Hal ini berbeda dengan
surat kuasa pada umumnya dimana kuasa hukum bertindak untuk dan atas nama
kliennya tanpa memerlukan persetujuan tertulis dalam setiap tindakannya di
pengadilan. Surat kuasa sudah cukup baginya untuk melakukan tindakan demi
kepentingan kliennya. Dalam pasal 4 Perma No. 2 tahun 2003 disebutkan bahwa
dalam waktu paling lama 1 hari kerja, para pihak atau kuasa hukum mereka wajib
berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki pengadilan
atau mediator di luar daftar pengadilan. Penentuan mediator harus berdasarkan
kesepakatan bersama para pihak, dan hakim tidak memiliki kewenangan apapun
dalam pemilihan mediator. Waktu 1 hari kerja yang diterapkan Perma hanyalah
untuk memilih mediator yang daftar namanya tersedia di pengadilan, atau
mediator yang berada di luar pengadilan. Dalam 1 hari kerja para pihak tidak
memperoleh kesepakatan untuk memilih mediator di dalam atau di luar pengadilan,
maka para pihak wajib memilih mediator dari daftar yang disediakan oleh
pengadilan tingkat pertama. Pasal 4 ayat (2) Perma jika dalam 1 hari kerja para
pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih seseorang mediator dari daftar yang
disediakan oleh pengadilan, ketua majelis berwenang untuk menunjuk seorang
mediator dari daftar mediator dengan penetapan pasal 4 ayat (3) Perma.
Ketentuan dalam pasal 4
Perma mengenai limit waktu 1 hari dalam memilih dan menentukan calon mediator
didasarkan pada pertimbangan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi
harus dapat dilaksanakan secepat mungkin. Penerapan asas cepat dalam penentuan
mediator juga terlihat dari kewenangan majelis hakim untuk menunjuk mediator
dengan penetapan, bila para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih mediator
yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Pemilihan mediasi sebagai
jalur penyelesaian sengketa akan mempermudah dan mempercepat penyelesaian
perkara di pengadilan.
Dengan demikian,
penerapan mediasi pada pengadilan merupakan bagian integral dari sejumlah
rentetan proses hukum acara, karena mediasi di tawarkan kepada para pihak pada
sidang pertama di pengadilan.
2.2 Dasar Hukum
a.
Dasar
hukum penerapan mediasi dalam pengadilan
a.
Pancasila
sebagai dasar ideologi NKRI yang mempunyai salah satu asas musyawarah untuk
mufakat.
b.
UUD
1945 adalah konstitusi Negara Indonesia dimana asas musyawarah untuk mufakat
menjiwai pasal-pasal didalamnya.
c.
UU
No. 4 Tahun 2004 Tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, penjelasan pasal
3 menyatakan : “Penyelesaian perkara diluar pengadilan, atas dasar perdamaian
atau melalui wasit teta diperbolehkan”.
d.
Perma
No.2 tahun 2003
e.
Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 Tentang pemberdayaan lemabaga
damai sebagaimana dalam pasal 130 HIR/ 154 Rbg
f.
Peraturan
Mahkamah Agung RI (PERMA)No.1 Tahun 2008
b.
Dasar
hukum penerapan mediasi diluar pengadilan
a.
UU
No. 30 Tahun 1999 dan PP 54 tahun 2000
b.
Pasal
1851 KUHPerdata menyatakan “perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana
kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya
suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan dibuat secara tertulis.”
c.
Pasal
1855 KUHPerdata “setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan
yang termaktub di dalamnya baik paraa pihak merumuskan maksud mereka dalam
perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat di simpulkan sebagai akibat
mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan.”
d.
Alternatif
penyelesaian sengketaa hanya di atur dalam 1 pasal yakni pasal 6 UU no.30 thn.1999 tentang Arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Persamaan
1. Mediator
ditentukan oleh para pihak baik dari dalam pengadilan maupun diluar pengadilan.
2. Sama-sama
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
3. Hasil
kesepakatan dari mediasi sama-sama wajib di daftarkan di Pengadilan Negeri
setempat.
4. Sama-sama telah di atur dalam undang-undang.
3.1.2 Perbedaan
No.
|
Didalam
Pengadilan
|
Diluar
Pengadilan
|
1.
|
Biaya lebih mahal
|
Biaya lebih murah
|
2.
|
Prosedur berbelit-belit
|
Prosedur lebih simple
|
3.
|
Prosesnya bersifat terbuka/transparan
|
Prosesnya rahasia
|
4.
|
Proses lama
|
Proses cepat
|
5.
|
Menyebabkan konflik yang berkelanjutan
karena para pihak tidak puas dengan
|
Meminimalisir adanya perseteruan yang
berkelanjutan
|
6.
|
Prosedur dan biaya telah di
tentukan dan di jelaskan oleh hakim
|
Prosedur dan biaya di sepakati oleh
para pihak
|
7
|
Para pihak berperkara
diwajibkan oleh pengadilan untuk menempuh proses mediasi
|
Para pihak tidak diwajibkan untuk
menyelesaikan sengketa hanya dengan mediasi saja tetapi masih ada alternatif
lainnya
|
8.
|
Jika mediasi tidak berhasil,
maka proses sidang di lanjutkan
|
Jika mediasi tidak berhasil, tidak ada
proses lanjutan
|
3.2 Saran
Ketika
seseorang bersengketa dengan pihak lain sebaiknya diselesaikan di luar
pengadilan karena jika semua sengketa diselesaikan di jalur pengadilan maka
akan terjadi penumpukan dan memperlambat proses penyelesaia sengketa selain itu
para pihak juga akan di bebankan dengan biaya yang mahal. Sejatinya jalur
pengadilan itu merupakan jalur terakhir dalam menyelesaikan suatu sengketa,
sebaiknya apabila masih bisa di selesaikan di luar pengadilan mengapa harus
dibawa ke ranah pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas
Syahrizal. 2010. Mediasi Dalam Hukum
Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Banda Aceh:Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar