Laman

Sabtu, 07 Februari 2015

Makalah Mediasi Lengkap (APS)

Oleh : I Nyoman Yoga Ariadnya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Setiap permasalahan pasti ada cara penyelesaian yang sudah dijelaskan pada alternatif penyelesaian sengketa yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, penyelesaian melalui arbitrase dan penyelesaian masalah melalui pola tradisi lokal. Namun seperti yang ketahui ada alternatif penyelesaian sengketa ini memiliki beberapa keuntungan antara lain cepat, murah, fleksibel, rahasia dan mendapatkan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Mediasi termasuk dalam salah satunya, dimana penhgertian dari mediasi tersebut menurut Gary Goodpaster menyatakan bahwa mediasi adalah proses negosiasi penyelsaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak (netral), tidak bekerja dengan pihak yang bersengketa, membantu mereka mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang mediasi yang ada dipengadilan dan mediasi yang ada diluar pengadilan dimana sangat banyak adanya perbedaan dan persamaan dari kedua hal tersebut. Selain itu juga penulis akan membahas juga tentang dasar hukum dari mediasi yang ada baik diluar maupun didalam pengadilan.

1.2.   Rumusan Masalah
1.2.1.      Apakah perbandingan antara mediasi diluar pengadilan dengan mediasi didalam penngadilan?
1.2.2.      Apakah dasar hukum dari mediasi diluar pengadilan dan mediasi didalam pengadilan?












BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Perbandingan Mediasi Didalam Pengadilan dan Diluar Pengadilan
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk mempeeroleh kesepaktan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi berasal dari bahasa inggris yang berati menyelesaikan sengketa dengan menengahi. Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah, dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya. Berikut adalah perbedaan dan persamaaan dari mediasi yang ada dipengadilan dan diluar pengadilan.
2.1.1 Mediasi diluar lembaga pengadilan
Penyelesaian sengketa melalui mediasi diluar pengadilan bukan berarti mediasi tidak ada kaitan sama sekali dengan pengadilan. Mediasi tetap memiliki keterkaitan dengan pengadilan  terutama menyangkut hasil kesepakatan para pihak dalam mediasi. Dalam pasal 24 PP No. 54 Tahun 2000 disebutkan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asli atau salinan autentik kesepakatan diserahkan atau didaftarkan oleh mediator atau pihak ketiga lainnya, atau salah satu pihak, atau para pihak yang berrsengketa kepada PANITERA Pengadilan Negeri. Hal yang samaa juga diatur dalam Pasal 6 Butir (8) UU No 30 Tahun 1999.
Proses pelaksanaan mediasi diluar pengadilan dalam UU No 30 Tahun 1999 diatur dalam pasal 6, sedangkan dalam PP No 54 tahun 2000 diatur dalam Pasa 20 Sampai pasal 24. Ketentuan pasal 6 berbunyi:
1.      Sengketa atau beda pendapat dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan.
2.      Penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagai mana dimaksud dalam ayat (1 ) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis.
3.      Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat deselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda peendapat diselesaikan melaui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
4.       Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 hari dengan bantuan seorang atau lebh penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mmencapai kata sepakat, atau mediator todak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau menujuk seorang mediator.
5.      Setelah menujuk mediator atau lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu palin lama 7 hari usaha mediasi sudah harus dapat dimulai.
6.      Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 dengan memegang teguh kerahasiaan, dalma waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
7.      Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan.
8.      Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 7 wajib selesai dilaksanakan dalam waktu 30 hari sejak pendaftaran.
9.      Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1  - 6 tidak dapat dicapai maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penylesaiannya melalui lembaga arbitrase.
Dalam proses pelaksanaan mediasi berdasarkan ketentuan Pasal 20 PP Tahun 2000 penunjukan mediator dilakuukan oleh para pihak pada lembaga penyedia jasa. Mediator harus secapat mungkin mendorong para pihak mencapai kesepakatan damai setelah itu kesepakatan ditungakan dalma penjanjian tertulis ditas kertas bermaterai dan ditandatangai oleh para pihak dan mediator. Jangaka waktu paling lama 30 hari setelah itu maka lembaran asli dan salinan autentik kesepakatan diserahkan pada Pengadilan Negeri.
2.1.2. Mediasi Pada Lembaga Peradilan
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 tahun 2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses beracara di pengadilan. Hal ini di tegaskan dalam pasal 2 Perma no.2 tahun 2003, berdasarkan ketentuan ini mengharuskan hakim sebelum melanjutkan proses pemeriksaan perkara lebih dahulu menawarkan mediasi kepada para pihak yang bersengketa. Penawaran ini bukanlah suatu bentuk pilihan tetapi merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh para pihak. Pasal 3 ayat (1) Perma No. 2 tahun 2003 menyebutkan bahwa pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara lebih dahulu menempuh mediasi.
Namun pasal 3 ayat (1) juga tidak mengemukakan konsekuensi hukum bagi para pihak yang menolak mediasi atau bagi hakim yang tidak menawarkan mediasi. Bila di cermati bunyi pasal 3 Perma ini terlihat bahwa pihak yang menolak untuk melakukan mediasi tidak membawa konsekuensi hukum apapun terhadap perkaranya, karena perkara tersebut juga akan di lanjutkan bila mediasi yang ditempuh gagal. Hal ini bermakna ketika para pihak bersikukuh pada pendiriannya tidak bersedia menerima mediasi yang ditawarkan hakim, maka bukan berarti perkaranya tidak bisa di lanjutkan oleh hakim. Dilanjutkan tidaknya suatu perkara sangat bergantung pada terpenuhi tidaknya persyaratan formal perkara.

Demikian pula halnya bagi hakim yang tidak menawarkan atau mewajibkan mediasi kepada para pihak, bukan berarti ia tidak dapat melanjutkan proses pemeriksaan perkara. Hakim menunda proses persidangan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi (pasal 3 ayat 2 Perma No.2 tahun 2003). Jadi penundaan sidang pada hari pertama, hanyalah memberikan kesempatan pada pihak untuk melakukan mediasi dan bila mereka gagal dalam mediasi, maka perkara akan tetap di lanjutkan berdasarkan proses hukum acara. Pada sidang pertama atau sebelum proses mediasi di lakukan, hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai prosedur dan biaya mediasi. Hal ini penting agar para pihak dapat mengetahui mekanisme, prosedur dan biaya mediasi. Hal ini penting agar para pihak dapat mengetahui mekanisme, prosedur dan biaya mediasi yang harus dikeluarkan dalam proses mediasi.
Para pihak dapat memilih mediator yang tersedia dalam daftar mediator di pengadilan, baik mediator yang berasal dari hakim maupun mediator yang berasal dari luar pengadilan. Bila para pihak menunjuk mediator yang berasal dari hakim, maka ia tidak dikenakan biaya apapun sedangkan bila ia menunjuk mediator yang berasal dari bukan hakim maka para pihak harus membayarkan jasa mediator yang jumlahnya tergantung pada kesepakatan (pasal 15 Perma No. 2 tahun 2003). Bila para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya, maka kuasa hukumlah yang melakukan mediasi. Namun dalam proses mediasi berbeda dengan kewenangan yang dimiliki kuasa hukum pada umumnnya, dimana keputusan yang di ambil kuasa hukum dalam proses mediasi wajib memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak. Kesepakatan yang diambil dalam suatu proses mediasi adalah final dan tidak dapat dilakukan upaya hukum, sehingga pasal 3 Perma di sebutkan bahwa setiap keputusan yang diambil kuasa hukum wajib memperoleh persetujuan tertulis. Kuasa hukum yang memiliki surat kuasa, akan bertindak untuk dan atas nama pihak yang memberikan kuasa. Surat kuasa tidak cukup baginya untuk menjadi dasar setiap pengambilan keputusan dalam proses mediasi, tetapi keputusan yang ia ambil tetap harus mendapat persetujuan tertulis.
Hal ini berbeda dengan surat kuasa pada umumnya dimana kuasa hukum bertindak untuk dan atas nama kliennya tanpa memerlukan persetujuan tertulis dalam setiap tindakannya di pengadilan. Surat kuasa sudah cukup baginya untuk melakukan tindakan demi kepentingan kliennya. Dalam pasal 4 Perma No. 2 tahun 2003 disebutkan bahwa dalam waktu paling lama 1 hari kerja, para pihak atau kuasa hukum mereka wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan. Penentuan mediator harus berdasarkan kesepakatan bersama para pihak, dan hakim tidak memiliki kewenangan apapun dalam pemilihan mediator. Waktu 1 hari kerja yang diterapkan Perma hanyalah untuk memilih mediator yang daftar namanya tersedia di pengadilan, atau mediator yang berada di luar pengadilan. Dalam 1 hari kerja para pihak tidak memperoleh kesepakatan untuk memilih mediator di dalam atau di luar pengadilan, maka para pihak wajib memilih mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Pasal 4 ayat (2) Perma jika dalam 1 hari kerja para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih seseorang mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan, ketua majelis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator dengan penetapan pasal 4 ayat (3) Perma.
Ketentuan dalam pasal 4 Perma mengenai limit waktu 1 hari dalam memilih dan menentukan calon mediator didasarkan pada pertimbangan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi harus dapat dilaksanakan secepat mungkin. Penerapan asas cepat dalam penentuan mediator juga terlihat dari kewenangan majelis hakim untuk menunjuk mediator dengan penetapan, bila para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Pemilihan mediasi sebagai jalur penyelesaian sengketa akan mempermudah dan mempercepat penyelesaian perkara di pengadilan.
Dengan demikian, penerapan mediasi pada pengadilan merupakan bagian integral dari sejumlah rentetan proses hukum acara, karena mediasi di tawarkan kepada para pihak pada sidang pertama di pengadilan.
2.2 Dasar Hukum
a.     Dasar hukum penerapan mediasi dalam pengadilan
a.       Pancasila sebagai dasar ideologi NKRI yang mempunyai salah satu asas musyawarah untuk mufakat.
b.      UUD 1945 adalah konstitusi Negara Indonesia dimana asas musyawarah untuk mufakat menjiwai pasal-pasal didalamnya.
c.       UU No. 4 Tahun 2004 Tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, penjelasan pasal 3 menyatakan : “Penyelesaian perkara diluar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit teta diperbolehkan”.
d.      Perma No.2 tahun 2003
e.       Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 Tentang pemberdayaan lemabaga damai sebagaimana dalam pasal 130 HIR/ 154 Rbg
f.       Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA)No.1 Tahun 2008

b.    Dasar hukum penerapan mediasi diluar pengadilan    
a.     UU No. 30 Tahun 1999 dan PP 54 tahun 2000
b.     Pasal 1851 KUHPerdata menyatakan “perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah, melainkan dibuat secara tertulis.”
c.     Pasal 1855 KUHPerdata “setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub di dalamnya baik paraa pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat di simpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan.”
d.    Alternatif penyelesaian sengketaa hanya di atur dalam 1 pasal yakni pasal 6 UU no.30  thn.1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.








































BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Persamaan
1.  Mediator ditentukan oleh para pihak baik dari dalam pengadilan maupun diluar    pengadilan.
2.  Sama-sama bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
3.  Hasil kesepakatan dari mediasi sama-sama wajib di daftarkan di Pengadilan Negeri setempat.
4.  Sama-sama telah di atur dalam undang-undang.
3.1.2 Perbedaan
No.
Didalam Pengadilan
Diluar Pengadilan
1.
Biaya lebih mahal
Biaya lebih murah
2.       
Prosedur berbelit-belit
Prosedur lebih simple
3.       
Prosesnya bersifat terbuka/transparan
Prosesnya rahasia
4.
Proses lama
Proses cepat
5.
Menyebabkan konflik yang berkelanjutan karena para pihak tidak puas dengan
Meminimalisir adanya perseteruan yang berkelanjutan
6.
Prosedur dan biaya telah di tentukan dan di jelaskan oleh hakim
Prosedur dan biaya di sepakati oleh para pihak
7
Para pihak berperkara diwajibkan oleh pengadilan untuk menempuh proses mediasi
Para pihak tidak diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa hanya dengan mediasi saja tetapi masih ada alternatif lainnya
8.
Jika mediasi tidak berhasil, maka proses sidang di lanjutkan
Jika mediasi tidak berhasil, tidak ada proses lanjutan

3.2 Saran
Ketika seseorang bersengketa dengan pihak lain sebaiknya diselesaikan di luar pengadilan karena jika semua sengketa diselesaikan di jalur pengadilan maka akan terjadi penumpukan dan memperlambat proses penyelesaia sengketa selain itu para pihak juga akan di bebankan dengan biaya yang mahal. Sejatinya jalur pengadilan itu merupakan jalur terakhir dalam menyelesaikan suatu sengketa, sebaiknya apabila masih bisa di selesaikan di luar pengadilan mengapa harus dibawa ke ranah pengadilan.      



DAFTAR PUSTAKA
Abbas Syahrizal. 2010. Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Banda Aceh:Kencana

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar