BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas
kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan asas tiada pidana
tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu
ditegaskan secara eksplisit sebagai
pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang
kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal
tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious liability,
erfolgshaftung, kesesatan atau
error, rechterlijk pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban
pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana. Maka
dari itu ada pula ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas
itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dalam
pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak
pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu
pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana
sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan
perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas
dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan“. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum
tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia. Maka dari itu penulis akan
membahas mengenai konsepsi dari suatu pertanggungjawaban pudana.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah
dari makalah ini adalah bagaimana penjabaran mengenai konsepsi suatu
pertanggungjawaban pidana?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari
makalah ini agar mahasiswa atau pembaca makalah ini paham mengenai konsepsi
dari suatu pertanggungjawaban pidana.
D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari
makalah ini penulis harapkan dapat berguna bagi mahasiswa umun atau khususnya
mahasiswa fakultas hukum dan pembaca dari masyarakat untuk dapat dijadikan
sumber informasi ataupun refrensi mengenai ilmu pengetahuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
LANDASAN TEORI
Pengertian Pertanggungjawaban
Pidana dan Kesalahan adalah sekalipun
kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban
pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih
terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli. Pemahaman yang berbeda
mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam penerapannya.
Dengan kata lain, pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan
ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
Dalam pengertian tindak pidana tidak
termasuk pertanggungjwaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada
dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang
melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang
diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini
orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam
pertanggungjawaban dalam hukum pidana: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan
(geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea)”. Asas ini
memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang
juga berlaku di Indonesia.
Dalam buku-buku Belanda pada umumnya tidak mengadakan
pemisahan antara dilarangnya perbuatan (strafbaar heid van het feit) dan
dipidananya orang yang melakukan perbuatan tersebut (strafbaar heid van de
persoon). Dengan kata lain, schuld (kesalahan) tidak dapat dimengerti tanpa
adanya wederrechttelijkheid (sifat melawan hukum), tapi sebaliknya sifat
melawan hukum mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Moeljatno mengartikannya;
orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak
melakukan tindak pidana. Tapi meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu
dia dapat dipidana.
Lebih lanjut Prof. Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang
tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin
dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk perangainya, kikir,
tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar
larangan pidana. Demikian pula meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu
dapat dipidana. Mislanya, seorang anak yang bermain dengan korek api dan
menyalakannya di dinding rumah tetangga yang hingga menimbulkan bahaya
umum baik terhadap barang maupun orang (Pasal 187 KUH Pidana). (Pasal 187 KUH –
Pidana; “barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran,
ledakan atau banjir, diancam : ke-1 dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang; ke-2 dengan pidana
penjara paling lamalima belas tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi orang
lain;)
Walaupun anak tersebut yang membakar
rumah tetangga atau setidaknya karena perbuatan anak tersebut rumah
tetangga terbakar (Pasal 188 KUH Pidana),(Pasal 188 KUH – pidana ; “barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya umum bagi
barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya
mengakibatkan matinya orang lain.) anak tersebut tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.
Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam hukum
pidana maka harus diketahui apa sebenarnya arti kesalahan (Subjective guilt)
itu:
Moeljatno
dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, berpandangan bahwa “orang dapat
dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana,
dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan
perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makna (jelek)
perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja
dilakukan.
Selain itu orang juga dapat dicela karena melakukan
perbuatan pidana meskipun tak sengaja dilakukan tapi terjadinya perbuatan itu
dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban-kewajiaban yang
dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya)
dijalankan olehnya. Dalam hal ini celaan bukan disebabkan oleh kenapa melakukan
perbuatan padahal mengerti (mengetahui) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam
hal kesengajaan, tetapi disebabkan oleh kenapa tidak menjalankan kewajiban-kewajiban
yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga karenanya masyarakat dirugikan.
Dengan kata lain perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan. Selain itu, orang
juga dapat melakukan tindak pidana walaupun tanpa adanya kesengajaan ataupun
kealpaan, sehingga tidak dapat dicela. Misalnya, orang yang mengendarai mobil
sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang diharuskan kepadanya, namun ada seorang
anak yang tiba-tiba menyeberang jalan sehingga ditabrak oleh mobilnya dan
meninggal dunia. Dalam hal ini ia tidak dapat dicela karena perbuatan yang
menyebabkan anak itu mati sama sekali tidak disengaja olehnya ataupun terjadi
karena kealpaannya.
Menurut
Pompe, kesalahan dapat dilihat dari dua unsur;
- menurut
akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid),
- menurut
hakikatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (verwijdbaarheid) perbuatan
yang melawan hukum
Simons menyebutkan bahwa kesalahan adalah adanya keadaan
psychis yang tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana dan adanya
hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang
sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena karena melakukan
perbuatan tadi. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan
dua hal disamping melakukan tindak pidana, yakni:
- adanya
keadaan psychis (bathin) yang tertentu, dan
- adanya
hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang
dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.
Kedua hal diatas mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan
yang pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua, atau yang kedua tergantung
pada yang pertama. Lebih jelasnya mengenai keadaan bathin orang yang melakukan
perbuatan (tindakan) diuraikan di bawah ini;
Keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan (tindakan)
merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvarbaarheid) yang
merupakan dasar yang penting untuk adanya suatu kesalahan. Sebab keadaan jiwa
terdakwa harus sehat atau normal sehingga diharapkan dapat mengatur tingkah
lakunya sesuai dengan pola yang dianggap baik dalam masyarakat. Jika keadaan
jiwanya normal, fungsinya pun normal. Bagi orang yang kondisi kejiwaannya tidak
normal tidak ada gunanya diadakan pertanggungjawaban, mereka harus dirawat dan
dididik dengan cara yang tepat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 44 KUH-Pidana
mengenai hubungan antara keadaan jiwa dengan perbuatan yang dilakukan, yang
menimbulkan celaan. Delik dibagi menjadi:
- delik
dolus yakni perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan atau
yang diinsyafi sebagai demikian
- delik
culpa yakni perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan Delik culpa
dibagi menjadi:
- delik
materiil yakni delik yang mensyaratkan adanya akibat. Misalnya Pasal
188 KUH-Pidana.
- delik
formil yakni delik yang mensyaratkan adanya perbuatan. Mislanya pasal 480.
Dari pendapat-pendapat di atas maka kesalahan itu mengandung
unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi
orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan
itu dapat dicelakan kepadanya.
Pencelaan dalam hal ini bukanlah pencelaan berdasarkan
kesusilaan, (ethische schuld) melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang
berlaku (verantwoordelijkheid rechtens) seperti yang dikemukakan oleh Van
Hamel. Namun Sudarto berpendapat bahwa untuk adanya kesalahan, harus ada
pencelaan ethis, betapapun kecilnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa “dass Recht ist das
etische minimum”; setidak-tidaknya pembuat dapat dicela karena tidak
menghormati tata dalam masyarakat yang terdiri dari sesama hidupnya dan
yang memuat segala syarat untuk hidup bersama. Pernyatan bahwa kesalahan itu
mengandung unsur ethis (kesusilaan) tidak boleh di balik. Tidak selamanya orang
yang melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati tata ataupun
kepatutan dalam masyarakat atau pada umumnya melakukan perbuatan yang dapat
dikatakan tidka susila itu, dapat dikatakan bersalah dalam arti patut dicela
menurut hukum.
Arti
kesalahan:
- kesalahan
dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ; didalamnya terkandung makna dapat
dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannnya. Jadi, orang
bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti bahwa dapat dicela atas
perbuatannya
- kesalahan
dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) yang berupa :
- kesengajaan
(dolus, opzet, vorsatz, atau intention)
- kealpaan
(culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit, atau negligence) ini
pengertian kesalahan yuridis
- kesalahan
dalam arti sempit ialah kealpaan (culpa).
Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas)
sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka pengertian kesalahan
yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normatif
schuldbegriff). Pengertian kesalahan psychologis, dalam arti ini kesalahan
hanya dipandang sebagai hubungan psychologis (batin) antara pembuat dan
perbuatannya. Hubungan bating tersebut bisa berupa kesengajaan (Kesengajaan;
hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatannya (beserta
akibatnya) dan pada kealpaan.(Kealpaan; tidak ada kehendak) Jadi dalam hal
ini yang digambarkan adalah keadaan batin si pembuat,sedangyang menjadi
ukurannya adalah sikap batin yang berupa
kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan
Dari
pengertian- pengertian yang telah diuraikan di atas, maka kesalahan terdiri
atas beberapa unsur, yakni:
- Adanya
kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (schuldfahigkeit atau
zurechnungsfaghigkeit) artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal,
dalam hal ini dipersoalkan apakah oarng tertentu menjadi “ normadressat ”
yang mampu.
- Hubungan
batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut bentuk – bentuk kesalahan,
dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pembuat terhadap
perbuatannya. meskipun yang disebut dalam
a dan b, ada kemungkinan bahwa ada keadaan
yang mempengaruhi si pembuat sehingga kesalahannya hapus, misalnya
dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 2
KUH-Pidana).(Pasal 49 ayat (2) KUH-Pidana ; “Pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat
kaena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana “)
- Tidak
adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf
Sedangkan menurut Moeljatno untuk adanya suatu kesalahan,
terdakwa harus :
- Melakukan
perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
- Di
atas umur tertentu mampu bertanggungjawab
- Mempunyai
suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan
- Tidak
adanya alasan pemaaf
B.
KONSEP
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara,
mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah
melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang
berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang
pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun
implementasinya.
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya
pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam
hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang
justru merumuskan keadaan-keadaan tem
lainnya, undnag-undang justru merumuskan
keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.[1]
Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang
dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk
sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan
di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan (general
defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general excusing of
liability)
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada
alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability
dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan
suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang
terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika
tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan
tindak pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak
mendakwa dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan
pembelaan dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang
karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut
umum berkewajiban membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu
membuktika hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu,
terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus
pidana. Untuk menghindari dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat
membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak
pidana. [2]Perumusan
pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari
ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang
dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan
pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya
kesalahan.
Merumuskan pertanggunjawaban pidana secara negatif, terutama
berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini,
dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan
demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang
diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.
Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader
strafrecht), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana,
bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga
kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung
pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak
pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana.
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan
hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya
dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas
tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti
rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggungjawaban
pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika
melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti
menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang
sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama,
pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat- syarat
faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek
preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences)
dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berhubungan erat
dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan konsekuensi hukum atas
adanya hal itu.
Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme
yang mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama
berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek
tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus
mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya.
Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang
didasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk
memasuki masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki
lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan0keadaan khusus
dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus
kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan
pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan
adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan
tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri terdakwa
tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar
hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam
proses pemeriksaan perkara di pengadilan.
Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, hakim harus
mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat
dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan
pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan mengenai
hal ini, baik dalam hukum pidana materil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya
(KUHAP).
Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat
dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi
pangkal tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang
dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat
dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru
bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang
lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur
tindak pidana.
Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan
tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana,[3]
merupakan konsekuensi logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang
sekalipun oleh masyarakat dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak
pidana. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah
perilaku yang dipandang tidak baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan
tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar,
maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak
pidana, maka hukum memandang perbuatan tersebut
tidak dirumuskan sebagai suatu tindak
pidana.[4] Sebaliknya, sekali perbautan ditetapkan
sebagai tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan- perbuatan tersebut
sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral dapat mengikutinya.
Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan tersebut. Dengan
demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya lebih pada celaan
yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat sebagai celaan
dari segi moral.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang
terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan
ornag itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme
yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam
bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa
masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau
setiap orang yang melakukannya akan dicela pula.
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap
pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan
yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan
celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya. Mempertanggungjawabkan
seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan secara objektif ada pada
perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.[5]
Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat
sepanjang perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif
permanen sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara
celaan yang ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu
sepanjang masa pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang
dengan sendirinya. Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer.[6]
Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu
berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan
tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang
berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan
dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya.
Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya
bentuk kesalahan (kesengajaan, atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan
pembuat, tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana
pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pertanggung
jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu
kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya
itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi
karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya. Dalam
menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan yaitu, Keadaan batin
dari orang yang melakukan perbuatan dan Hubungan antara keadaan batin itu
dengan perbuatan yang dilakukan.
Seseorang
mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
1.
Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari
pada perbuatannya;
2.
Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak
dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;
3.
Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya
dalam melakukan perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I,
Sinar Grafika, Jakarta, 1983.
Chairul
Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006.
Roeslan
Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.
Harkristut
Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang- undang Hukum
Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180.
[2] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006,
hal. 62.
[3].
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal.
13.
[4]
Harkristut Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam
Perspektif Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di
Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal.
180.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus