Laman

Kamis, 16 Februari 2017

KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang  akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai  pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious  liability,  erfolgshaftung,  kesesatan  atau  error,  rechterlijk  pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak  pidana. Maka  dari itu ada  pula ketentuan  tentang subjek berupa korporasi. Semua asas itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan“. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia. Maka dari itu penulis akan membahas mengenai konsepsi dari suatu pertanggungjawaban pudana.
B.    RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana penjabaran mengenai konsepsi suatu pertanggungjawaban pidana?




C.    TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari makalah ini agar mahasiswa atau pembaca makalah ini paham mengenai konsepsi dari suatu pertanggungjawaban pidana.

D.    MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari makalah ini penulis harapkan dapat berguna bagi mahasiswa umun atau khususnya mahasiswa fakultas hukum dan pembaca dari masyarakat untuk dapat dijadikan sumber informasi ataupun refrensi mengenai ilmu pengetahuan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    LANDASAN TEORI
Pengertian Pertanggungjawaban Pidana dan Kesalahan adalah sekalipun kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli. Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam penerapannya. Dengan kata lain, pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjwaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal  ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea)”. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
Dalam buku-buku Belanda pada umumnya tidak mengadakan pemisahan antara dilarangnya perbuatan (strafbaar heid van het feit) dan dipidananya orang yang melakukan perbuatan tersebut (strafbaar heid van de persoon). Dengan kata lain, schuld (kesalahan) tidak dapat dimengerti tanpa adanya wederrechttelijkheid (sifat melawan hukum), tapi sebaliknya sifat melawan hukum mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Moeljatno mengartikannya; orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan tindak pidana. Tapi meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dia dapat dipidana.
Lebih lanjut Prof. Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana. Demikian pula meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dapat dipidana. Mislanya, seorang anak yang bermain dengan korek api dan menyalakannya di dinding rumah tetangga yang hingga menimbulkan bahaya umum baik terhadap barang maupun orang (Pasal 187 KUH Pidana). (Pasal 187 KUH – Pidana;  “barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam : ke-1 dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang; ke-2 dengan pidana penjara paling lamalima belas tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi orang lain;)
Walaupun   anak   tersebut  yang membakar rumah tetangga atau setidaknya karena perbuatan anak tersebut  rumah tetangga terbakar (Pasal 188 KUH Pidana),(Pasal 188 KUH – pidana ; “barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya mengakibatkan matinya orang lain.) anak tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.
Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka harus diketahui apa sebenarnya arti kesalahan (Subjective guilt) itu:
Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, berpandangan bahwa “orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan.
Selain itu orang juga dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana meskipun tak sengaja dilakukan tapi terjadinya perbuatan itu dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban-kewajiaban yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya) dijalankan olehnya. Dalam hal ini celaan bukan disebabkan oleh kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti (mengetahui) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tetapi disebabkan oleh kenapa tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga karenanya masyarakat dirugikan. Dengan kata lain perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan. Selain itu, orang juga dapat melakukan tindak pidana walaupun tanpa adanya kesengajaan ataupun kealpaan, sehingga tidak dapat dicela. Misalnya, orang yang mengendarai mobil sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang diharuskan kepadanya, namun ada seorang anak yang tiba-tiba menyeberang jalan sehingga ditabrak oleh mobilnya dan meninggal dunia. Dalam hal ini ia tidak dapat dicela karena perbuatan yang menyebabkan anak itu mati sama sekali tidak disengaja olehnya ataupun terjadi karena kealpaannya.
Menurut Pompe, kesalahan dapat dilihat dari dua unsur;
  1. menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid),
  2. menurut hakikatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (verwijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum
Simons menyebutkan bahwa kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena karena melakukan perbuatan tadi. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal disamping melakukan tindak pidana, yakni:
  1. adanya keadaan psychis (bathin) yang tertentu, dan
  2. adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.
Kedua hal diatas mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan yang pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua, atau yang kedua tergantung pada yang pertama. Lebih jelasnya mengenai keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan (tindakan) diuraikan di bawah ini;
Keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan (tindakan) merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvarbaarheid) yang merupakan dasar yang penting untuk adanya suatu kesalahan. Sebab keadaan jiwa terdakwa harus sehat atau normal sehingga diharapkan dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang dianggap baik dalam masyarakat. Jika keadaan jiwanya normal, fungsinya pun normal. Bagi orang yang kondisi kejiwaannya tidak normal tidak ada gunanya diadakan pertanggungjawaban, mereka harus dirawat dan dididik dengan cara yang tepat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 44 KUH-Pidana mengenai hubungan antara keadaan jiwa dengan perbuatan yang dilakukan, yang menimbulkan celaan. Delik dibagi menjadi:
  1. delik dolus yakni perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan atau yang diinsyafi sebagai demikian
  2. delik culpa yakni perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan Delik culpa dibagi menjadi:
  3. delik materiil yakni delik yang mensyaratkan adanya akibat.  Misalnya Pasal 188 KUH-Pidana.
  4. delik formil yakni delik yang mensyaratkan adanya perbuatan. Mislanya pasal 480.
Dari pendapat-pendapat di atas maka kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya.
Pencelaan dalam hal ini bukanlah pencelaan berdasarkan kesusilaan, (ethische schuld) melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku (verantwoordelijkheid rechtens) seperti yang dikemukakan oleh Van Hamel. Namun Sudarto berpendapat bahwa untuk adanya kesalahan, harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa “dass Recht ist das etische minimum”; setidak-tidaknya pembuat dapat dicela karena tidak menghormati  tata dalam masyarakat yang terdiri dari sesama hidupnya dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama. Pernyatan bahwa kesalahan itu mengandung unsur ethis (kesusilaan) tidak boleh di balik. Tidak selamanya orang yang melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati tata ataupun kepatutan dalam masyarakat atau pada umumnya melakukan perbuatan yang dapat dikatakan tidka susila itu, dapat dikatakan bersalah dalam arti patut dicela menurut hukum.
Arti kesalahan:
  1. kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana ; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannnya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti bahwa dapat dicela atas perbuatannya
  2. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) yang berupa :
    1. kesengajaan (dolus, opzet, vorsatz, atau intention)
    2. kealpaan (culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit, atau negligence) ini pengertian kesalahan yuridis
  3. kesalahan dalam arti sempit ialah kealpaan (culpa).
Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normatif schuldbegriff). Pengertian kesalahan psychologis, dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis (batin) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan bating tersebut bisa berupa kesengajaan (Kesengajaan; hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatannya (beserta akibatnya) dan pada kealpaan.(Kealpaan; tidak ada kehendak) Jadi dalam hal ini yang digambarkan adalah keadaan batin si pembuat,sedangyang   menjadi  ukurannya  adalah  sikap   batin  yang   berupa  kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan
Dari pengertian- pengertian yang telah diuraikan di atas, maka kesalahan terdiri atas beberapa unsur, yakni:
  1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (schuldfahigkeit atau zurechnungsfaghigkeit) artinya keadaan jiwa si pembuat harus  normal, dalam hal ini dipersoalkan apakah oarng tertentu menjadi “ normadressat ” yang mampu.
  2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut bentuk – bentuk kesalahan, dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pembuat terhadap perbuatannya.   meskipun  yang  disebut   dalam  a  dan   b,    ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi si  pembuat sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 2 KUH-Pidana).(Pasal 49 ayat (2) KUH-Pidana ; “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat kaena serangan atau ancaman serangan  itu, tidak dipidana “)
  3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf Sedangkan menurut  Moeljatno  untuk adanya suatu kesalahan,  terdakwa harus :
    1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
    2. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab
      1. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan  atau kealpaan
      2. Tidak adanya alasan pemaaf
B.    KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasinya.
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru    merumuskan    keadaan-keadaan    tem   lainnya,    undnag-undang  justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.[1]
Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan (general defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general excusing of liability)
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan pembelaan dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena   melakukan tindak   pidana.   Untuk   itu, penuntut   umum berkewajiban membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktika hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindari dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana. [2]Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan.
Merumuskan pertanggunjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader strafrecht), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung    pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana.
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat- syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berhubungan erat dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan konsekuensi hukum atas adanya hal itu.
Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya.
Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan0keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas    dasar hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan.
Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, hakim harus mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP).
Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur tindak pidana.
Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana,[3] merupakan konsekuensi logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan  sebagai  suatu  tindak  pidana,  maka  hukum  memandang perbuatan tersebut  tidak  dirumuskan  sebagai  suatu  tindak    pidana.[4]  Sebaliknya, sekali perbautan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan- perbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral dapat mengikutinya. Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan tersebut. Dengan demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya lebih pada celaan yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat sebagai celaan dari segi moral.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau setiap orang yang melakukannya akan dicela pula.
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.[5]
Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat sepanjang perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif permanen sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara celaan yang ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu sepanjang masa pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang dengan sendirinya. Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer.[6]
Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesalahan (kesengajaan, atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan pembuat, tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.



BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya. Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan yaitu, Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan dan Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
1.     Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
2.     Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;
3.     Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.



DAFTAR PUSTAKA
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983.

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.

Harkristut Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif  Kitab   Undang- undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180.




[1] Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hal. 260.
[2] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 62.

[3]. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.
[4] Harkristut Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab   Undang- undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180.
[5] Roelan Saleh, Op.cit, hal. 71.
[6] Chairul Huda, Op.cit, hal. 69

1 komentar: