Laman

Kamis, 16 Februari 2017

HAK REMISI TERPIDANA VS PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Ditulis Oleh : 
1. Yoga Ariadnya
2. Ita Utari
3. Diah Indrawati

HAK REMISI TERPIDANA VS PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A.    PENDAHULUAN
            Korupsi sudah menjadi masalah yang sangat besar yang dialami oleh seluruh negara di dunia. Hampir setiap negara mempunyai visi dan misi untuk memberantas kejahatan yang tergolong dalam kejahatan luar biasa ini (Extra Ordinary Crime) termasuk Negara Indonesia. Tingginya tingkat kejahatan korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Hampir di setiap elemen kehidupan sudah tersentuh oleh tindakan korupsi, yang dilakukan olehoknum-oknum pejabat negara,  ini mebuktikan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat tinggi tingkat korupsinya.
Ranking Indonesia sebagai negara yang  dapat dikatakan sebagai negara yang bersih dari korupsi masih tidak dapat dibanggakan. Pasalnya, Indonesia masih menempati posisi bawah untuk kategori negara terbersih dari korupsi. Saat ini, Indonesia menduduki posisi 107 dari 177 negara terbersih di dunia. Menurut IndonesianCoruption Watch (ICW), komitmen dan gerakan antikorupsi  pada pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat selama 10 tahun, belum menunjukan prestasi yang memuaskan. Karena peningkatan Indonesia sebagai negara yang bersih dari korupsi masih jauh dari harapan. [1]
            Penanganan terhadap terpidana korupsi (Koruptor) tidak boleh disamakan dengan kejahatan pada umumnya, daya kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi berbeda-bedadari satu jenis ke jenis yang  lain, korupsi dapat merusak aturan main, misalnya, sistem peradilan, hak milik, sistem perbankan dan kredit serta dapat mennghambat pembangunan ekonomi, sosial dan politik.[2]Koruptor di Indonesia diperlakukan tidak sesuai dengan apa yang telah diperbuat oleh koruptor tersebut.
Beberapa waktu yang lalu bahkan Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) merencanakan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan  yang menuai kontra di tengah masyarakat. Dengan alasan bahwa pada aturan remisi yang berlaku di peraturan tersebut narapidana korupsi yang tidak berstatus sebagai justice collaborator[3]  dianggap akan sulit mendapatkan remisi.
Tentunya hal ini mencedrai rasa keadilan dalam masyarakat, korupsi adalah kejahatan yang dikategorikan tindakan kriminal luar biasa (extraordinary crime), temasukUnited Nations Convention Against Corruption (UNCAC) telah mengkategorikankejahatan korupsi sebagai kejahatan  terhadap hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Kasus tindak pidana konvensional, yang dirugikan langsung kepada satu individu saja. Namun, korupsi memiliki dampak secara tidak langsung merugikan dalam skala yang sangat besar. Dengan hal yang seperti itu harus diselesiakna dengan cara-cara yang luar biasa harus diterapkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Mudahnya para koruptor memenuhi persyaratan untuk mendapatkan remisi merupakan indikasi awal bahwa niat untuk memberantas korupsi di Indonesia sangat lemah.Berbagai keanehan dalam pemberian remisi  terhadapa koruptor selama ini membuktikan bahwa ada kelemahan dalam kebijakan tersebut. Masifnya protes dari masyarakat dan adanya indikasi terjadi banyak praktik suap dan praktik illegal lainnnya dalam pemberian remisi terhadap koruptor, seharusnya membuat Menteri Hukum dan HAM tidak mudah memberikan remisi kepada koruptor. Jika tidak, maka akan sulit rasanya untuk menyatakan bahwa pemerintah saat ini serius mendukung upayapemberantasan korupsi. Mudahnya pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi memberi pandangan kepada rakyat bahwa perang atau perlawanan melawan korupsi tidak didukung oleh kemauan politik yang serius dan sungguh-sungguh. Kemauan politik yang ambivalen[4] itu, membuat pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi kompromistis. Sudah mendapat hukuman yang relatif ringan, para koruptor pun  juga diberikan hak mendapatkan penguranganhukuman bernama remisi.
B.      PEMBAHASAN
1.     Tinjauan Yuridis Pemberian Remisi Bagi Narapidana
Perkembangan peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia bersumber dari  Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) 2003 atau dapat disingkat KAK 2003, secara global repersentatif KAK 2003  memuat delapan Bab dan telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor  7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) yang memuat beberapa substansi menarik dari aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.[5] Indonesia telah bergabung bersama PBB dan telah meratifikasi hasil dari konvensi tentang korupsi tersebut.
Korupsi masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Extra Ordinary Crimes dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kejahatan luar biasa.Dasar dimasukkannya korupsi kedalam kategori Extra Ordinary Crimeskarena beberapa hal yaitu: (sumbernya)
1.     Pembuktian kejahatan korupsi sangat sulit. Koruptor yang melakukan penyuapan kepada oknum tertentu sangat mustahil menggunakan tanda bukti terima atau kuitansi. Secara hukum, pembuktiannya terbilang sangat sulit.
2.     Dampak dari korupsi itu luar biasa dan dampak terhadap sektor perekonomian sangat tinggi.
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga setiap hak dari warganegaranya dijunjung tinggi termasuk hak dari para narapidana yaitu:[6] a) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b) mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c) mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e) menyampaikan keluhan; f) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g) mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h) menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i) mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j) mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k) mendapatkan pembebasan bersyarat; l) mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m) mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hak-hak dasar dari narapidana tercantum salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia diwacanakan akan mempermudah persyaratan pemberian remisi terhadap terpidana kasus korupsi, yang kemudian menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Remisi adalah pengurangan masa hukuman dari narapidana yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.BerdasarkanPasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi mengatakan pengertian dari “Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana”.Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatakan bahwa “Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”.
Pengaturan yang mengatur pemberian Remisi terhadap koruptor diatur dalam  Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia  Nomor 99 Tahun 2012  tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga  Binaan Pemasyarakatandimana dalam Peraturan Pemerintah ini lebih memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi, terorisme, narkoba, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya (kejahatan luar biasa). Jika pemberian remisi terhadap perkara pidana biasa hanya mensyaratkan berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana, khusus pemberian remisi untuk terpidana korupsi syaratnya diperketat. Terpidana korupsi harus memenuhi syarat-syarat antara lain bersedia bekerja sama dengan penegak hukum dan  membantu mengungkap tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator), dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
2.       Hak Konstitusional Terpidana Korupsi Mendapatkan Remisi
Berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan  sudah dijelaskan bahwa setiap narapidana memiliki hak-hak yang sudah ditetapkan  termasuk penerimaan remisi dan hal ini juga dipertegas dalam pasal Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi “Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi”, dalam pasal ini sudah sangat jelas setiap narapidana berhak untuk mendapakan remisi susuai dengan peraturan termasuk didalamnya adalah terpidana korupsi. Dalam konstitusi UUD 1945 dalam pasal28D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan juga dalam pasal 28J ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, didalam pasal tersebut sudah tertuang penjelasan yang mengaskan bahwa pemberian remisi terhadap terpidana korupsi tidak menyalahi aturan, hal ini membuktikan bahwa di Indonesia, hak dari narapidana harus dipenuhi dan dihormati termasuk terpidana korupsi.
Adapun syarat untuk menerima remisi untuk para koruptor sudah diatur sangat jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia  Nomor 99 Tahun 2012  tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga  Binaan Pemasyarakatan yaitu:[7]
1.     berkelakuan baik; dan
2.     telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Selain peryaratan diatas, koruptor juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu:
1.     bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
2.     telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
3.     telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
a.      kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
b.     tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
Dalam teori perbaikan dinyatakan bahwapenjahatdapat dan harus dididik (diperbaiki) dengan bersaranakan hukuman pidana. Ajaran prevensi mengemukakan bahwa hukumam diperlukan untuk melindungi masyarakat dari kerugian yang lebih jauh dan untuk mencegah penjahatuntuk melakukan perbuatan pidana.[8]Dalam pemberian remisi terhadap terpidana korupsi sesuai dengan teori ini seharusnya bisa di terapkan, bagi para koruptor agar dapat berubah menjadi  orang yang lebih baik karena tujuan dari dihukumnya pelaku tindak pidana tidak hanya untuk menjerakan pelaku tindak pidana tapi juga untuk membina agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi tindakannya lagi.Asas persamaan berkedudukan didepan hukum (Equality before the law)merupakan satu sendi dari negara hukum berdasarkan rule of law. Semua orang dianggap kedudukannya sama didepan hukumtanpa membedakan jenis kelamin, umur, status dimasyarakat, kecuali anak dibawah umur dan sakit ingatan.[9] Asas tersebut juga terkait dalam pemberian remisi terhadap terpidana korupsi, apapun tindakan pidana yang dilakukan harus mendapatkan kesetaraan dari setiap individu tanpa ada pengecualian, dalam hal ini pelaku tindak pidana korupsi juga harus diperlakukan sama sesuai dengan peraturan yang berlaku, hak-hak yang dimiliki oleh terpidana korupsi tidak boleh dihapuskan begitu saja.
Adanya tambahan persyaratan dalam pemberian remisi bagi para koruptor, dilakukan dengan tujuan untuk membantu negara dalam pemberantasan korupsi. Seorang terpidana yang menjadi Justice Colaborator, negara akan dibantu melalui kontribusi dari terpidana korupsi untuk membongkar tindakan korupsi lainnya. Sehingga sangat pantas jika pelaku tindak pidana korupsi diberikan remisi atas sumbangsihnya terhadap negara.
Jika wacana ini dilakukan akan memiliki dampak positif, seperti terjaminnya hak-hak dari narapidana termasuk pelaku kejahatan tindak pidana korupsi sehingga tidak akan bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28I ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, dalam persyaratan pemberian remisi yang sudah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia  Nomor 99 Tahun 2012  tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga  Binaan Pemasyarakatan tidaklah mudah untuk dipenuhi, pelaku tindak pidana korupsi harus memenuhi beberapa syarat untuk mendapatkan remisi salah satunya adalah denga cara membantu mengungkap tindak pidana yang dilakukan (justice collaborator). Dapat dibayangkan bagaimana jika semua terpidana kasus korupsi memenuhi persyaratan ini, dengan persyaratan ini maka banyak kasus korupsi di Indonesia akan semakain banyak yang terungkap dan berujung kepadan rendahnya tingkat kejahatan korupsi di Indonesia. Serta tujuan dari pemidanaan selain untuk penjeraan terhadap perlaku tindak pidana juga untuk pembinaan atau perbaikan, sehingga para koruptor dapat kembali pada kehidupan yang lebih baik.[10]
3. Pemidanaan Sebagai Upaya Penjeraan Terhadap Koruptor
Selama tahun 2007, putusan Pengadilan Tipikor rata-rata menjatuhkan hukuman bagi koruptor selama 4,4 tahun penjara. Rata-rata hukuman tersebut sama sekali tidak memadai untuk membuat kapok sang koruptor yang telah merugikan keuangan negara sampai milyaran rupiah bahkan sampai triliunan rupiah, belum lagi sistem lembaga pemasyarakatan yang memberikan fasilitas seperti hotel berbintang bagi para koruptor dan remisi penjara besar-besaran.[11]Wacana dari  Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly tentang rencana merevisi dan menghapuskan syarat seorang koruptor harus menjadi Justice Collaborator secara normatif telah nyata melanggar ketentuan norma Pasal 37 ayat (2) Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003 yang mewajibkan setiap negara anggota PBB untuk tidak mudah memberi diskon hukuman kecuali apabila pelaku kejahatan beritikad baik bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan suatu kejahatan. Kebijakan ini juga tidak sinkron dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.[12]
Korupsi menyebabkan rasa sakit hati bagi masyarakat miskin yang menderita. Adanya korupsi pada segi-segi pelayanan masyarakat, antara lain pelayanan jaminan kesehatan, pendidikan dan tersedianya makanan yang menjadi terabaikan. Ditambah pula dengan orang-orang miskin yang juga mengeluh karena keadilan tidak berpihak lagi dengan mereka.[13]Kejahatan tindak pidana korupsi bergerak secara dinamis, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dengan mengandalkan cara-cara konvensional. Karena itulah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan UU Nomer 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). UU KPK lahir dari spirit reformasi penegakan hukum, sehingga  Indonesia dapat melakukan pencegahana dan penindakan terhadap pelaku korupsi. UU KPK diberi status lex specialist karena mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).  KPK yang diberi mandat oleh Undang- Undang itu terkait dengan statur ‘lex specialist’, KPK diberi kewenangan ekstra untuk memperkuat fungsi pemberantasan korupsi.[14]
Wacana dari Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) memperlihatkan bahwaPemerintah tidak memiliki kesungguhan dalam memerangi tindak pidana korupsi. Jika korupsi sudah diakui sebagai sebuah ancaman yang memiliki daya ledak yang sangat parah, maka pemerintah pun harus memeranginya dengan carayang luar biasa juga. Pemberian remisi terhadap koruptor mengesankan pengabaian terhadap fakta kerugian negara terhadap praktek korupsi. Dengan menggunakan dalil kemanusiaan, Kementerian Hukum dan HAM seolah tidak peduli bahwa praktek korupsi itu telah merugikan bangsa dan negara khususnya yang berdampak secara tidak langsung kepada masyarakak menengah kebawah.
 Tidak bisa dipungkiri juga bahwa penegakan hukum di Indonesia sangatlah lemah, ini terbukti melalui penegak hukum di Indonesia masih terlalu “tumpul” untuk menghadapi kejahatan luar biasa seperti korupsi. Dalam banyak kasus, orang-orang miskin, dengan kejahatan yang ringan, terkadang mendapatkan sanksi hukum yang sangat berat seperti beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, misalnya, seorang nenek yang bernama Asyani yang didakwa melakukan tindak pidana pencurian kayu jati, telah divonis majelis hakim dengan hukuman penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 15 bulan, serta denda Rp 500 juta subsider 1 hari kurungan.[15]Tetapi pelaku kejahatan besar seperti korupsi justru berhadapan dengan sisi pisau tumpul seperti kasus di daerah Rengat, Provinsi Riau, mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Indragiri Hulu Azhar Syam yang turut serta dalam kasus korupsi APBD Indragirihulu tahun 2005-2008 senilai Rp116 miliar, hanya dijatuhi vonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Rengat dengan hukuman pidana 12 bulan penjara, ditambah denda Rp50 juta.[16] Hal ini membuktikan hukum di Indonesia sperti pisau yang hanya tajam kebawah dan tumpul ke kalangan atas. Tidak heran jika Indonesia menduduki posisi 107 dari 177 negara terbersih di dunia. Peringkat yang sangat jauh dari kata cukup untuk dapat dikatakan sebagai negara bersih dari korupsi. [17]
Tidak diberikannya remisibagi terpidana korupsi akan memiliki dampak positif, yakni akan menciptakan rasa kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin baik, karena dalam sudut pandang masyarakat khusunya masyarakat golongan menengah kebawah, tindakan korupsi sangat berdampak besar terhadap mereka, hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat kecil justru terenggut oleh tangan-tangan penguasa. Justru seharusnya dalam pemberian hukuman terhadap terpidana korupsi hukuman minimun dari perlaku-pelaku korupsi harus diperberat lagi dan pemerintah seharusnya tidak melakukan revisi peraturan yang berkaitan dengan pemberian remisi terhadap perlaku tindak pidana korupsi, karena kita perlu mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Hukuman bagi pelaku korupsi di Indonesia sangatlah ringan, sehinggatidak memberikan efek jera terhadap pelaku, sudah seharusnya peraturan hukum mengenai sanksi pidana terhadap pelaku korupsi untuk direvisi khusunya terhadap sanksi minimum dengan memberlakukan minimum khusus bukan minimum umum dan menghapuskan pengganti pidana denda dengan subsider kurungan. Jadi denda wajib dibayar oleh terpidana tanpa dapat diganti dengan pidana kurunga.
C.      PENUTUPAN
Kesimpulan dan Gagasan
            Korupsi memang merupakan kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), namun tidak seharusnya hak dari narapidana korupsi tersebut dihapuskan karena itu merupakan hak dari setiap narapidana yang sudah tertuang dalam pasal 14 Undang-undanng nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan tidak hanya sampai disana, bahkan hak dari setiap narapidana secara tersirat terkandung dalam konstitusi Undang-undang Dasar 1945 dalam pasal 28D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan juga dalam pasal 28J ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dalam konstitusi tersebut sudah jelas bahwa hak narapidana dalam hal ini mendapatkan remisi harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan karena negara kita adalah  negara hukum yang mengakui hak asasi manusia sertajika semua terpidana kasus korupsi memenuhi persyaratan untuk membantu pemerintah mengungkap ssuatu tindakan korupsi (justice collaborator)maka banyak kasus korupsi di Indonesia akan semakain banyak yang terungkap dan berujung kepadan rendahnya tingkat kejahatan korupsi di Indonesia.
            Disisi lain korupsi merupakan kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan di Indonesia, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang masuk dalam kategori negara terkorup, di Indonesia para koruptor mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa melalui penerimaan hukuman yang relatif ringan jika dibandingkan dengan dampak atau daya ledak yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Hak yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat justru diambil oleh oknum-oknum yang serakah. Maka dari itu sebaiknya pemerintah Indonesia harus mulai melakukan tindakan pembenahan yang jelas dan tegas sesuai dengan komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi di Negara Indonesia ini, merevisi peraturan tentang pemberian remisi terhadap para koruptor agar lebih memperberat syarat yang harus dipenuhi oleh para koruptor untuk mendapakan remisi dan bilaperlu pemberian remisi terhadap koruptor dihapuskan karena hukuman yang diterima oleh para koruptor relatif ringan sangat tidak sesuai jika koruptor yang mendapatkan hukuman yang ringan diberikan remisi, sehingga tujuan dari pemidanaan untuk menjerakan sesorang yang bertindak melawan hukum akan menjadai tidak efektif terhadap para koruptor.Peraturan hukum mengenai sanksi pidana terhadap pelaku korupsi untuk direvisi khusunya terhadap sanksi minimum dengan memberlakukan minimum khusus bukan minimum umum dan menghapuskan pengganti pidana denda dengan subsider kurungan. Jadi denda wajib dibayar oleh terpidana tanpa dapat diganti dengan pidana kurungan.








Daftar Pustaka

Mas Mawan,Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bogor : Ghalia Indonesia, 2014).
Tedung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2009).
Jahja, Juni Sjafrien, Say No To Korupsi,(Jakarta Selatan : Transmedia Pustaka, 2012).
Tina Asmarawati,  Hukuman Mati dan Permasalahan di Indonesia, (Yogyakarta : Budi Utama, 2013), hlm 107.
Robert Klitgaard et.al., Penuntun Pemberantasan Korupsi Pemerintah Daerah, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005) hlm. 109-110.
Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003
Indonesia, Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945
                  ,Undang-Undang Nomor  7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption
                  ,Undang Undang Nomer 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
                 ,Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
                  ,Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan 
                  ,Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi
Republika, 2014, Indonesia Ternyata masih Termasuk Negara Terkorup, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/08/ng9ky7-duh-indonesia-ternyata-masih-termasuk-negara-terkorup, diakses tanggal12 April 2015.
Negara Hukum, 2013,  Korupsi Perspektif Konvensi PBBhttp://www.negarahukum.com/hukum/korupsi-perspektif-konvensi-pbb.html#_ftnref1, diakses pada tanggal 8 Mei 2015.
Republika, 2015, Menyoal Remisi Koruptor. http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/03/20/nlhzr5-menyoal-remisi-koruptor, diakses pada tanggal 8 Mei 2015.
Detik, 2015, Divonis Bersalah Nenek Asyani tantang Majelis Hakim Sumpah Pocong, http://news.detik.com/read/2015/04/23/162800/2896358/10/divonis-bersalah-nenek-asyani-tantang-majelis-hakim-sumpah-pocong, diakses pada tanggal 25 April 2015
Kompassiana, 2011, Enak jadi Koruptor Divonis Bebas atau Dihukum Ringan, http://hukum.kompasiana.com/2011/10/21/enak-jadi-koruptor-divonis-bebas-atau-dihukum-ringan-405524.html, diakses pada tanggal 25 April 2015.
Republika, 2014, Indonesia Ternyata masih Termasuk Negara Terkorup,http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/08/ng9ky7-duh-indonesia-ternyata-masih-termasuk-negara-terkorup,  diakses pada tanggal 12 April 2015.


[1]Republika, 2014, Indonesia Ternyata masih Termasuk Negara Terkorup, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/08/ng9ky7-duh-indonesia-ternyata-masih-termasuk-negara-terkorup, diakses tanggal12 April 2015.
[2]Robert Klitgaard et.al., Penuntun Pemberantasan Korupsi Pemerintah Daerah, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005) hlm. 109-110.
[3]justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
[4] Ambivalen merupakan keadaan yang terjadi secara simultan, antara perasaan yang bertentangan terhadap seseorang atau sesuatu
[5]Negara Hukum, 2013, Korupsi Perspektif Konvensi PBB, http://www.negarahukum.com/hukum/korupsi-perspektif-konvensi-pbb.html#_ftnref1, diakses pada tanggal 8 Mei 2015.
[6] Pasal 14 Undang-undanng nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
[7] Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia  Nomor 99 Tahun 2012  tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga  Binaan Pemasyarakatan
[8]Tedung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2009) hlm. 226
[9]Tina Asmarawati,  Hukuman Mati dan Permasalahan di Indonesia, (Yogyakarta : Budi Utama, 2013), hlm 107.
[10]Lihat ketentuan Pasal 5 UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan “Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: a. pengayoman;, b. persamaan perlakuan dan pelayanan;, c. pendidikan;, d. pembimbingan;, e. penghormatan harkat dan martabat manusia;, f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.”
[11]Denny Indrayana, Negeri para Mafioso Hukum di Sarang Koruptor, (Jakarta : Buku Kompas, 2008) hlm. 77.
[12]Republika, 2015,Menyoal Remisi Koruptor. http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/03/20/nlhzr5-menyoal-remisi-koruptor,diakses pada tanggal 8 Mei 2015.
[13] Jahja, Juni Sjafrien, Say No To Korupsi,(Jakarta Selatan : Transmedia Pustaka, 2012) hlm. 134.
[14] Mas Mawan,Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bogor : Ghalia Indonesia, 2014) hlm. vii
[15]Detik, 2015, Divonis Bersalah Nenek Asyani tantang Majelis Hakim Sumpah Pocong, http://news.detik.com/read/2015/04/23/162800/2896358/10/divonis-bersalah-nenek-asyani-tantang-majelis-hakim-sumpah-pocong, diakses pada tanggal 25 April 2015.
[16] Kompassiana, 2011, Enak jadi Koruptor Divonis Bebas atau Dihukum Ringan, http://hukum.kompasiana.com/2011/10/21/enak-jadi-koruptor-divonis-bebas-atau-dihukum-ringan-405524.html, diakses pada tanggal 25 April 2015.
[17]  Republika, 2014, Indonesia Ternyata masih Termasuk Negara Terkorup,http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/08/ng9ky7-duh-indonesia-ternyata-masih-termasuk-negara-terkorup,  diakses pada tanggal 12 April 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar