Ditulis Oleh :
1. Yoga Ariadnya
2. Ita Utari
3. Diah Indrawati
HAK REMISI TERPIDANA VS PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. PENDAHULUAN
Korupsi sudah menjadi masalah yang sangat besar yang
dialami oleh seluruh negara di dunia. Hampir setiap negara mempunyai visi dan
misi untuk memberantas kejahatan yang tergolong dalam kejahatan luar biasa ini (Extra Ordinary Crime) termasuk Negara
Indonesia. Tingginya tingkat kejahatan korupsi di Indonesia sudah sangat
mengkhawatirkan. Hampir di setiap elemen kehidupan sudah tersentuh oleh
tindakan korupsi, yang dilakukan olehoknum-oknum pejabat negara, ini mebuktikan bahwa Indonesia merupakan
negara yang sangat tinggi tingkat korupsinya.
Ranking Indonesia sebagai negara yang dapat dikatakan sebagai negara yang bersih
dari korupsi masih tidak dapat dibanggakan. Pasalnya, Indonesia masih menempati
posisi bawah untuk kategori negara terbersih dari korupsi. Saat ini, Indonesia
menduduki posisi 107 dari 177 negara terbersih di dunia. Menurut IndonesianCoruption Watch (ICW), komitmen dan
gerakan antikorupsi pada pemerintahan
era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat selama 10 tahun, belum
menunjukan prestasi yang memuaskan. Karena peningkatan Indonesia sebagai negara
yang bersih dari korupsi masih jauh dari harapan. [1]
Penanganan terhadap terpidana
korupsi (Koruptor) tidak boleh disamakan dengan kejahatan pada umumnya, daya
kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi berbeda-bedadari satu jenis
ke jenis yang lain, korupsi dapat
merusak aturan main, misalnya, sistem peradilan, hak milik, sistem perbankan
dan kredit serta dapat mennghambat pembangunan ekonomi, sosial dan politik.[2]Koruptor di Indonesia diperlakukan tidak sesuai
dengan apa yang telah diperbuat oleh koruptor tersebut.
Beberapa waktu yang lalu bahkan Menteri Hukum dan Ham (Menkumham)
merencanakan merevisi
Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang menuai kontra di tengah masyarakat. Dengan alasan bahwa pada aturan remisi yang
berlaku di peraturan tersebut narapidana korupsi yang tidak berstatus sebagai justice collaborator[3] dianggap akan sulit mendapatkan
remisi.
Tentunya hal ini mencedrai rasa keadilan dalam
masyarakat, korupsi adalah kejahatan yang
dikategorikan tindakan kriminal luar biasa (extraordinary crime), temasukUnited
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) telah
mengkategorikankejahatan korupsi sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia (human rights
crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Kasus tindak pidana konvensional, yang dirugikan langsung kepada satu individu
saja. Namun, korupsi memiliki dampak secara tidak langsung merugikan dalam
skala yang sangat besar. Dengan hal yang seperti itu harus diselesiakna dengan cara-cara
yang luar biasa harus diterapkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Mudahnya para koruptor memenuhi
persyaratan untuk mendapatkan remisi merupakan indikasi awal bahwa niat untuk
memberantas korupsi di Indonesia sangat lemah.Berbagai keanehan dalam pemberian
remisi terhadapa koruptor selama ini
membuktikan bahwa ada kelemahan dalam kebijakan tersebut. Masifnya protes dari
masyarakat dan adanya indikasi terjadi banyak praktik suap dan praktik illegal
lainnnya dalam pemberian remisi terhadap koruptor, seharusnya membuat Menteri
Hukum dan HAM tidak mudah memberikan remisi kepada koruptor. Jika tidak, maka
akan sulit rasanya untuk menyatakan bahwa pemerintah saat ini serius mendukung
upayapemberantasan korupsi. Mudahnya pemberian remisi kepada pelaku tindak
pidana korupsi memberi pandangan kepada rakyat bahwa perang atau perlawanan
melawan korupsi tidak didukung oleh kemauan politik yang serius dan
sungguh-sungguh. Kemauan politik yang ambivalen[4] itu, membuat pemberantasan
korupsi di Indonesia menjadi kompromistis. Sudah mendapat hukuman yang relatif
ringan, para koruptor pun juga diberikan
hak mendapatkan penguranganhukuman bernama remisi.
B.
PEMBAHASAN
1.
Tinjauan Yuridis Pemberian
Remisi Bagi Narapidana
Perkembangan
peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia bersumber dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi (United Nations Convention
Against Corruption) 2003 atau dapat disingkat KAK 2003, secara global repersentatif KAK 2003
memuat delapan Bab dan telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) yang memuat beberapa substansi menarik dari aspek filosofis,
yuridis, dan sosiologis.[5] Indonesia telah bergabung
bersama PBB dan telah meratifikasi hasil dari konvensi tentang korupsi
tersebut.
Korupsi masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Extra Ordinary Crimes dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai kejahatan luar biasa.Dasar dimasukkannya korupsi kedalam kategori Extra Ordinary Crimeskarena beberapa hal yaitu: (sumbernya)
1.
Pembuktian kejahatan korupsi sangat sulit. Koruptor yang melakukan penyuapan kepada oknum tertentu sangat
mustahil menggunakan tanda bukti terima atau kuitansi. Secara hukum, pembuktiannya terbilang
sangat sulit.
2.
Dampak dari korupsi itu luar biasa dan dampak terhadap sektor
perekonomian sangat tinggi.
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga
setiap hak dari warganegaranya dijunjung tinggi termasuk hak dari
para narapidana yaitu:[6] a) melakukan ibadah sesuai
dengan agama atau kepercayaannya; b) mendapat perawatan, baik perawatan rohani
maupun jasmani; c) mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d) mendapatkan
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e) menyampaikan keluhan; f) mendapatkan
bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g) mendapatkan
upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h) menerima kunjungan keluarga,
penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i) mendapatkan pengurangan masa
pidana (remisi); j) mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga; k) mendapatkan pembebasan bersyarat; l) mendapatkan cuti
menjelang bebas; dan m) mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hak-hak dasar dari
narapidana tercantum salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pengurangan
masa pidana (remisi). Oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia diwacanakan akan mempermudah persyaratan pemberian remisi terhadap terpidana kasus korupsi, yang kemudian menimbulkan pro dan kontra
di tengah masyarakat.
Remisi adalah pengurangan masa hukuman dari narapidana yang
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.BerdasarkanPasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
174 Tahun 1999
tentang Remisi mengatakan pengertian dari “Remisi
adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana
yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana”.Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
mengatakan bahwa “Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada
narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan”.
Pengaturan yang mengatur pemberian Remisi
terhadap koruptor diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor
99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatandimana dalam Peraturan Pemerintah
ini lebih memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana
korupsi, terorisme, narkoba, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak
asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya
(kejahatan luar biasa). Jika pemberian remisi terhadap perkara pidana biasa
hanya mensyaratkan berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana,
khusus pemberian remisi untuk terpidana korupsi syaratnya diperketat. Terpidana
korupsi harus memenuhi syarat-syarat antara lain bersedia bekerja sama dengan
penegak hukum dan membantu mengungkap
tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator), dan telah
membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
2.
Hak Konstitusional Terpidana
Korupsi Mendapatkan Remisi
Berdasarkan
Pasal 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan sudah dijelaskan bahwa
setiap narapidana memiliki hak-hak yang sudah ditetapkan termasuk penerimaan remisi dan hal ini juga
dipertegas dalam pasal Pasal
34 ayat (1) yang berbunyi “Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan
Remisi”, dalam pasal ini sudah sangat jelas setiap narapidana berhak untuk
mendapakan remisi susuai dengan peraturan termasuk didalamnya adalah terpidana
korupsi. Dalam konstitusi UUD 1945 dalam pasal28D ayat (1) yang berbunyi
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan juga dalam pasal 28J
ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, didalam
pasal tersebut sudah tertuang penjelasan yang mengaskan bahwa pemberian remisi
terhadap terpidana korupsi tidak menyalahi aturan, hal ini membuktikan bahwa di
Indonesia, hak dari narapidana harus dipenuhi dan dihormati termasuk terpidana
korupsi.
Adapun syarat
untuk menerima remisi untuk para koruptor sudah diatur sangat jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Republik Indonesia Nomor 99 Tahun
2012 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan yaitu:[7]
1.
berkelakuan
baik; dan
2.
telah
menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Selain peryaratan diatas,
koruptor juga harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut, yaitu:
1.
bersedia
bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak
pidana yang dilakukannya;
2.
telah
membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk
Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
3.
telah
mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) dan/atau Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
a.
kesetiaan
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga
Negara Indonesia, atau
b.
tidak
akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi
Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme.
Dalam
teori perbaikan dinyatakan bahwapenjahatdapat dan harus dididik (diperbaiki)
dengan bersaranakan hukuman pidana. Ajaran prevensi mengemukakan bahwa hukumam
diperlukan untuk melindungi masyarakat dari kerugian yang lebih jauh dan untuk
mencegah penjahatuntuk melakukan perbuatan pidana.[8]Dalam pemberian
remisi terhadap terpidana korupsi sesuai dengan teori ini seharusnya bisa di
terapkan, bagi para koruptor agar dapat berubah menjadi orang yang lebih baik karena tujuan dari dihukumnya
pelaku tindak pidana tidak hanya untuk menjerakan pelaku tindak pidana tapi
juga untuk membina agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi tindakannya lagi.Asas persamaan berkedudukan
didepan hukum (Equality before the law)merupakan
satu sendi dari negara hukum berdasarkan rule
of law. Semua orang dianggap kedudukannya sama didepan hukumtanpa
membedakan jenis kelamin, umur, status dimasyarakat, kecuali anak dibawah umur
dan sakit ingatan.[9]
Asas tersebut juga
terkait dalam pemberian remisi terhadap terpidana korupsi, apapun tindakan
pidana yang dilakukan harus mendapatkan kesetaraan dari setiap individu tanpa
ada pengecualian, dalam hal ini pelaku tindak pidana korupsi juga harus
diperlakukan sama sesuai dengan peraturan yang berlaku, hak-hak yang dimiliki
oleh terpidana korupsi tidak boleh dihapuskan begitu saja.
Adanya
tambahan persyaratan dalam pemberian remisi bagi para koruptor, dilakukan
dengan tujuan untuk membantu negara dalam pemberantasan korupsi. Seorang
terpidana yang menjadi Justice Colaborator,
negara akan
dibantu melalui kontribusi dari terpidana korupsi untuk membongkar tindakan
korupsi lainnya. Sehingga sangat pantas jika pelaku tindak pidana korupsi
diberikan remisi atas sumbangsihnya terhadap negara.
Jika wacana ini dilakukan akan
memiliki dampak positif, seperti terjaminnya hak-hak dari narapidana termasuk
pelaku kejahatan tindak pidana korupsi sehingga tidak akan bertentangan dengan
konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28I ayat (1) yang berbunyi “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, dalam persyaratan pemberian
remisi yang sudah dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor
99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan tidaklah mudah untuk dipenuhi,
pelaku tindak pidana
korupsi harus memenuhi beberapa syarat untuk mendapatkan remisi salah satunya
adalah denga cara membantu mengungkap tindak
pidana yang dilakukan (justice collaborator). Dapat dibayangkan bagaimana
jika semua terpidana kasus korupsi memenuhi persyaratan ini, dengan persyaratan
ini maka banyak kasus korupsi di Indonesia akan semakain banyak yang terungkap
dan berujung kepadan rendahnya tingkat kejahatan korupsi di Indonesia. Serta tujuan dari pemidanaan selain untuk penjeraan
terhadap perlaku tindak pidana juga untuk pembinaan atau perbaikan, sehingga
para koruptor dapat kembali pada kehidupan yang lebih baik.[10]
3. Pemidanaan Sebagai Upaya
Penjeraan Terhadap Koruptor
Selama tahun 2007, putusan Pengadilan Tipikor rata-rata
menjatuhkan hukuman bagi koruptor selama 4,4 tahun penjara. Rata-rata hukuman
tersebut sama sekali tidak memadai untuk membuat kapok sang koruptor yang telah
merugikan keuangan negara sampai milyaran rupiah bahkan sampai triliunan
rupiah, belum lagi sistem lembaga pemasyarakatan yang memberikan fasilitas seperti
hotel berbintang bagi para koruptor dan remisi penjara besar-besaran.[11]Wacana dari Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly tentang rencana merevisi dan menghapuskan syarat seorang koruptor harus
menjadi Justice Collaborator secara normatif
telah nyata melanggar ketentuan norma Pasal 37 ayat (2) Konvensi PBB
Antikorupsi (United Nations Convention
Against Corruption) tahun 2003 yang mewajibkan setiap negara anggota PBB
untuk tidak mudah memberi “diskon” hukuman kecuali apabila pelaku kejahatan beritikad baik
bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan suatu kejahatan. Kebijakan ini
juga tidak sinkron dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.[12]
Korupsi
menyebabkan rasa sakit hati bagi masyarakat miskin yang menderita. Adanya
korupsi pada segi-segi pelayanan masyarakat, antara lain pelayanan jaminan kesehatan, pendidikan dan tersedianya makanan yang
menjadi terabaikan. Ditambah pula dengan orang-orang miskin yang juga mengeluh
karena keadilan tidak berpihak lagi dengan mereka.[13]Kejahatan
tindak pidana korupsi bergerak secara dinamis, penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dengan mengandalkan cara-cara
konvensional. Karena itulah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan
UU Nomer 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). UU KPK lahir dari spirit reformasi penegakan hukum, sehingga Indonesia dapat melakukan pencegahana dan penindakan terhadap
pelaku korupsi. UU KPK diberi status lex
specialist karena mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KPK
yang diberi mandat oleh Undang- Undang itu terkait dengan statur ‘lex specialist’, KPK diberi kewenangan
ekstra untuk memperkuat fungsi pemberantasan korupsi.[14]
Wacana dari Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) memperlihatkan bahwaPemerintah tidak memiliki kesungguhan dalam memerangi tindak pidana korupsi. Jika korupsi sudah diakui sebagai sebuah ancaman
yang memiliki daya ledak yang sangat parah, maka pemerintah pun harus
memeranginya dengan carayang luar biasa juga. Pemberian remisi terhadap
koruptor mengesankan pengabaian terhadap fakta kerugian negara terhadap praktek
korupsi. Dengan menggunakan dalil kemanusiaan, Kementerian
Hukum dan HAM seolah tidak peduli bahwa praktek korupsi itu telah merugikan
bangsa dan negara khususnya yang berdampak secara tidak langsung kepada
masyarakak menengah kebawah.
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa penegakan
hukum di Indonesia sangatlah lemah, ini terbukti melalui penegak hukum di
Indonesia masih terlalu “tumpul” untuk menghadapi kejahatan luar biasa seperti
korupsi. Dalam banyak kasus, orang-orang miskin, dengan kejahatan yang ringan, terkadang mendapatkan sanksi hukum yang sangat berat
seperti beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, misalnya, seorang nenek yang bernama Asyani yang
didakwa melakukan
tindak pidana pencurian kayu jati, telah
divonis majelis hakim dengan hukuman penjara
selama 1 tahun dengan masa percobaan 15 bulan, serta denda Rp 500 juta subsider 1
hari kurungan.[15]Tetapi pelaku kejahatan besar seperti korupsi justru
berhadapan dengan sisi pisau tumpul seperti kasus di daerah Rengat, Provinsi
Riau, mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Indragiri Hulu Azhar Syam yang turut
serta dalam kasus korupsi APBD Indragirihulu tahun 2005-2008 senilai Rp116
miliar, hanya dijatuhi
vonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri
Rengat dengan hukuman pidana 12 bulan penjara, ditambah denda Rp50
juta.[16] Hal ini membuktikan hukum
di Indonesia sperti pisau yang hanya tajam kebawah dan tumpul ke kalangan atas.
Tidak heran jika Indonesia menduduki posisi 107
dari 177 negara terbersih di dunia. Peringkat yang sangat jauh dari kata cukup untuk dapat
dikatakan sebagai negara bersih dari korupsi. [17]
Tidak diberikannya remisibagi terpidana korupsi akan memiliki dampak positif, yakni
akan menciptakan rasa kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin baik, karena dalam sudut pandang masyarakat khusunya masyarakat golongan menengah kebawah, tindakan korupsi sangat berdampak besar
terhadap mereka, hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh
masyarakat kecil justru terenggut oleh tangan-tangan penguasa.
Justru seharusnya dalam pemberian hukuman terhadap terpidana korupsi hukuman
minimun dari perlaku-pelaku korupsi harus diperberat
lagi dan pemerintah seharusnya tidak
melakukan revisi peraturan
yang berkaitan dengan pemberian remisi terhadap perlaku tindak pidana korupsi,
karena kita perlu mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara
terkorup di dunia. Hukuman bagi
pelaku korupsi di Indonesia sangatlah ringan, sehinggatidak memberikan efek
jera terhadap pelaku, sudah seharusnya peraturan hukum mengenai sanksi pidana
terhadap pelaku korupsi untuk direvisi khusunya terhadap sanksi minimum dengan
memberlakukan minimum khusus bukan minimum umum dan menghapuskan pengganti
pidana denda dengan subsider kurungan. Jadi denda wajib dibayar oleh terpidana
tanpa dapat diganti dengan pidana kurunga.
C.
PENUTUPAN
Kesimpulan dan Gagasan
Korupsi memang merupakan kejahatan yang dikategorikan
sebagai kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime), namun tidak seharusnya hak dari narapidana korupsi
tersebut dihapuskan karena itu merupakan hak dari setiap narapidana yang sudah
tertuang dalam pasal 14 Undang-undanng nomor 12 tahun 1995
tentang pemasyarakatan tidak hanya sampai disana, bahkan hak dari setiap
narapidana secara tersirat terkandung dalam konstitusi Undang-undang Dasar 1945
dalam pasal 28D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum” dan juga dalam pasal 28J ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dalam konstitusi tersebut sudah jelas
bahwa hak narapidana dalam hal ini mendapatkan remisi harus dijunjung tinggi
dan dilaksanakan karena negara kita adalah
negara hukum yang mengakui hak asasi manusia sertajika semua terpidana kasus korupsi memenuhi persyaratan untuk membantu pemerintah
mengungkap ssuatu tindakan korupsi (justice
collaborator)maka banyak
kasus korupsi di Indonesia akan semakain banyak yang terungkap dan berujung
kepadan rendahnya tingkat kejahatan korupsi di Indonesia.
Disisi
lain korupsi merupakan kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan di Indonesia,
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang masuk dalam kategori negara
terkorup, di Indonesia para koruptor mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa
melalui penerimaan hukuman yang relatif ringan jika dibandingkan dengan dampak
atau daya ledak yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut. Hak yang seharusnya
didapatkan oleh masyarakat justru diambil oleh oknum-oknum yang serakah. Maka
dari itu sebaiknya pemerintah Indonesia harus mulai melakukan tindakan
pembenahan yang jelas dan tegas sesuai dengan komitmen pemerintah dalam
memerangi korupsi di Negara Indonesia ini, merevisi peraturan tentang pemberian
remisi terhadap para koruptor agar lebih memperberat syarat yang harus dipenuhi
oleh para koruptor untuk mendapakan remisi dan bilaperlu pemberian remisi
terhadap koruptor dihapuskan karena hukuman yang diterima oleh para koruptor
relatif ringan sangat tidak sesuai jika koruptor yang mendapatkan hukuman yang ringan diberikan
remisi, sehingga tujuan dari pemidanaan untuk menjerakan sesorang yang
bertindak melawan hukum akan menjadai tidak efektif terhadap para koruptor.Peraturan hukum mengenai sanksi pidana terhadap pelaku
korupsi untuk direvisi khusunya terhadap sanksi minimum dengan memberlakukan
minimum khusus bukan minimum umum dan menghapuskan pengganti pidana denda
dengan subsider kurungan. Jadi denda wajib dibayar oleh terpidana tanpa dapat
diganti dengan pidana kurungan.
Daftar Pustaka
Mas Mawan,Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bogor : Ghalia Indonesia, 2014).
Tedung Mulya Lubis, Kontroversi
Hukuman Mati, (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2009).
Jahja, Juni Sjafrien, Say No To Korupsi,(Jakarta Selatan : Transmedia Pustaka, 2012).
Tina Asmarawati, Hukuman Mati dan Permasalahan di Indonesia, (Yogyakarta
: Budi Utama, 2013), hlm 107.
Robert Klitgaard et.al., Penuntun Pemberantasan Korupsi Pemerintah Daerah, (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2005) hlm. 109-110.
Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations
Convention Against Corruption) tahun 2003
Indonesia, Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945
,Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption
,Undang Undang Nomer 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
,Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan
,Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
,Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi
Republika, 2014, Indonesia Ternyata masih Termasuk Negara Terkorup, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/08/ng9ky7-duh-indonesia-ternyata-masih-termasuk-negara-terkorup,
diakses tanggal12 April 2015.
Negara Hukum, 2013, Korupsi Perspektif Konvensi
PBB, http://www.negarahukum.com/hukum/korupsi-perspektif-konvensi-pbb.html#_ftnref1,
diakses pada tanggal 8 Mei
2015.
Republika, 2015, Menyoal Remisi Koruptor. http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/03/20/nlhzr5-menyoal-remisi-koruptor, diakses pada tanggal 8 Mei 2015.
Detik, 2015, Divonis Bersalah
Nenek
Asyani tantang Majelis Hakim Sumpah Pocong, http://news.detik.com/read/2015/04/23/162800/2896358/10/divonis-bersalah-nenek-asyani-tantang-majelis-hakim-sumpah-pocong, diakses pada tanggal 25
April 2015
Kompassiana, 2011, Enak jadi
Koruptor Divonis Bebas atau Dihukum Ringan, http://hukum.kompasiana.com/2011/10/21/enak-jadi-koruptor-divonis-bebas-atau-dihukum-ringan-405524.html, diakses pada tanggal 25
April 2015.
Republika, 2014, Indonesia Ternyata masih Termasuk Negara Terkorup,http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/08/ng9ky7-duh-indonesia-ternyata-masih-termasuk-negara-terkorup,
diakses
pada tanggal 12
April 2015.
[1]Republika,
2014, Indonesia
Ternyata masih Termasuk Negara Terkorup, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/08/ng9ky7-duh-indonesia-ternyata-masih-termasuk-negara-terkorup,
diakses tanggal12 April 2015.
[2]Robert
Klitgaard et.al., Penuntun Pemberantasan
Korupsi Pemerintah Daerah, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005) hlm.
109-110.
[3]justice
collaborator merupakan
salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan
pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi
di dalam proses peradilan.
[4] Ambivalen merupakan keadaan yang terjadi secara simultan, antara
perasaan yang bertentangan terhadap seseorang atau sesuatu
[5]Negara Hukum, 2013, Korupsi
Perspektif Konvensi PBB, http://www.negarahukum.com/hukum/korupsi-perspektif-konvensi-pbb.html#_ftnref1,
diakses pada tanggal 8 Mei 2015.
[7] Pasal 34 ayat (2)
Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia
Nomor 99 Tahun 2012 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan
[8]Tedung
Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta
: Kompas Media Nusantara, 2009) hlm. 226
[9]Tina
Asmarawati, Hukuman Mati dan Permasalahan di Indonesia, (Yogyakarta : Budi
Utama, 2013), hlm 107.
[10]Lihat ketentuan Pasal 5 UU No. 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan “Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pengayoman;, b. persamaan perlakuan dan pelayanan;, c. pendidikan;, d.
pembimbingan;, e. penghormatan harkat dan martabat manusia;, f. kehilangan
kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan g. terjaminnya hak untuk
tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.”
[11]Denny Indrayana, Negeri para Mafioso Hukum di Sarang Koruptor, (Jakarta : Buku
Kompas, 2008) hlm. 77.
[12]Republika, 2015,Menyoal Remisi
Koruptor. http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/03/20/nlhzr5-menyoal-remisi-koruptor,diakses pada tanggal 8 Mei 2015.
[15]Detik, 2015, Divonis Bersalah Nenek
Asyani tantang Majelis Hakim Sumpah Pocong, http://news.detik.com/read/2015/04/23/162800/2896358/10/divonis-bersalah-nenek-asyani-tantang-majelis-hakim-sumpah-pocong, diakses pada tanggal 25 April 2015.
[16] Kompassiana, 2011, Enak jadi Koruptor Divonis Bebas atau
Dihukum Ringan, http://hukum.kompasiana.com/2011/10/21/enak-jadi-koruptor-divonis-bebas-atau-dihukum-ringan-405524.html, diakses pada tanggal 25 April 2015.
[17] Republika, 2014, Indonesia Ternyata masih Termasuk Negara Terkorup,http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/12/08/ng9ky7-duh-indonesia-ternyata-masih-termasuk-negara-terkorup,
diakses pada tanggal 12
April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar