Ditulis Oleh :
1. Yoga Ariadnya
2. Ita Utari
3. Diah Indrawati
PERAN
DAN PROBLEMATIKA HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BAGI PEMBANGUNAN UNTUK
KEPENTINGAN UMUM
A.
PENDAHULUAN
Selepas Indonesia
merdeka maupun setelah masuk pada era reformasi, pembangunan nasional di segala
lini terus dilakukan. Pembangunan nasional yang dimaksud, berlangsung di
seluruh daerah di Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyamaratakan
tingkat perekonomian di seluruh Indonesia sesuai dengan amanat dari pembukaan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) yang mengamanatkan agar
pemerintah memajukan kesejahteraan umum.
Memasuki tahun 2015,
pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan, khususnya pada triwulan pertama.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa ekonomi Indonesia
pada triwulan pertama tahun 2015 terhadap triwulan pertama tahun 2014 hanya
tumbuh 4,71 persen. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2014 sebesar
5,14.[1]
Dengan adanya penurunan laju pertumbuhan ekonomi tersebut tentu akan disikapi
dengan cepat oleh pemerintah dengan memperbanyak program-program pembangunan,
termasuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud
membutuhkan ketersediaan lahan yang tidak sedikit. Tanah yang dikuasai langsung
oleh negara (tanah negara) tidak dapat memenuhi kebutuhan lahan yang dibutuhkan.
Oleh karena itu, untuk memenuhinya maka dilakukanlah pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dan yang menjadi objek pengadaan lahan tersebut adalah tanah
milik masyarakat.
Tanah milik masyarakat
yang menjadi objek pengadaan tanah, tidak hanya tanah milik yang bersifat
pribadi dan individu namun juga ditafsirkan terhadap tanah komunal milik
masyarakat hukum adat, yang merupakan bagian dari Hak Ulayat. Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah yang menjadi
objek pengadaan. Namun, pencabutan hak atas tanah tersebut bukanlah hal yang
mudah untuk dilaksankan sekalipun telah dilandasi oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Tingginya intensitas
kegiatan pembangunan infrastruktur yang kemudian dibarengi dengan pencabutan
hak atas tanah untuk kepentingan umum, tidak jarang menimbulkan konflik
vertikal maupun konflik horizontal. Pencabutan hak atas tanah terhadap
tanah-tanah komunal masyarakat adat mempunyai tingkat kerentanan konflik yang
sangat tinggi. Menurut Arie S. Hutagalung, praktek-praktek pengadaan tanah
untuk proyek pembangunan dengan dalil untuk kepentingan umum di lokasi tanah
masyarakat hukum adat dilakukan secara tidak bijaksana, sehingga menimbulkan
sengketa tanah tersebut yang sampai saat ini belum terselesaikan.[2]
Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas, pencabutan Hak Ulayat untuk kepentingan umum
menimbulkan pro dan kontra. Pada satu sisi, kegiatan tersebut sangat diperlukan
untuk pembangunan infrastruktur dalam rangka
percepatan pertumbuhan perekonomian, namun di sisi lain kegiatan
tersebut juga menimbulkan kerugian bagi masyarakat hukum adat si empunya Hak
Ulayat. Oleh karena itu, sangat perlu untuk dibahas secara lebih mendalam dalam
pembahasan, terkait dengan kondisi tersebut di atas.
B.
PEMBAHASAN
1.
Aspek
Hukum Hak Ulayat
Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disebut sebagai Hak Ulayat. Dalam UUPA eksistensi
keberadaan hak ulayat tersebut mendapatkan pengakuan dengan menyebutkan pelaksanaan
hak ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.[3] Keberadaan Hak ulayat bagi kehidupan masyarakat adat,
mempunyai makna dan fungsi yang sangat strategis dalam keberlangsungan
kehidupannya.
Pengakuan dan perlindungan hukum terhadap eksistensi
hak tradisional masyarakat hukum adat juga termuat dalam peraturan yang lebih
tinggi, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan UUD. Dalam UUD disebutkan bahwa
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.[4] Disamping itu, UUD juga
mengakui bahwa hak tradisional tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia
yang tetap harus dihormati, sekalipun tetap harus selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.[5] Berdasarkan
ketentuan tersebut maka Hak ulayat masyarakat hukum adat adalah hak dasar yang
melekat dalam kehidupan masyarakat tersebut yang bukan merupakan pemberian
negara. Sama halnya dengan hak dasar yang melekat dalam setiap manusia,
misalnya hak untuk hidup, yang bukan merupakan pemberian negara.
Dalam dunia internasional hak-hak masyarakat hukum
adat juga telah mendapatkan pengakuan. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) tahun 2007 tentang Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat menyatakan bahwa
pengakuan atas hak-hak masyarakat adat akan bermanfaat meningkatkan keharmonisan
dan hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat adat, yang didasarkan pada
prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia,
tanpa diskriminasi dan dapat dipercaya.[6]
Boedi Harsono memberikan pandangan tentang apa yang
dimaksud dengan Hak ulayat, yaitu serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat
yang bersangkutan sepanjang masa.[7] Dalam
pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hak ulayat merupakan bagian dari
wilayah masyarakat hukum adat yang merupakan sekaligus lebensraum masyarakat tersebut. Sebagai lebensraum masyarakat hukum adat, Hak ulayat tidak hanya terbatas
pada tanah ulayat saja. Namun, hak ulayat juga meliputi hutan adat,
sumber-sumber air, kolam dan termasuk pula tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada
dan hidup di atas tanah ulayat, yang dapat dimanfaatkan secara komunal oleh
msyarakat hukum adat.
Pada dasarnya, eksistensi Hak ulayat hingga kini di
berbagai wilayah di Indonesia masih tetap terjaga. Bahkan, keberadaannya tetap
dipertahankan dan terus diupayakan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan
yang lebih dari Negara. Sebenarnya terdapat beberapa tolok ukur yang dapat
digunakan untuk mengetahui bahwa eksistensi Hak ulayat tersebut masih tetap
terjaga, yaitu :
Hak ulayat
masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
a.
Terdapat
sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari ;
b.
Terdapat
tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan ;
c.
Terdapat
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.[8]
Berdasarkan
kriteria tersebut di atas, jika di suatu daerah kriteria tersebut terpenuhi
maka tidak dapat dibenarkan pihak manapun untuk bertindak secara
sewenang-wenang untuk mereduksi atau bahkan menghilangkan Hak ulayat masyarakat
hukum adat tersebut, termasuk negara. Eksistensi keberadaan Hak Ulayat sejauh
ini yang diatur dan dikelola secara bijaksana oleh masyarakat hukum adat, dapat
memberikan pengaruh positif. Pengaruh positif yang paling sering dijumpai
adalah terjaganya kelestarian alam dan lingkungan hidup.
2.
Hak
Ulayat Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Negara sebagai suatu
organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang di dalamnya memenuhi syarat mempunyai
wilayah, rakyat dan pemerintahan. Kaitannya dengan negara demokrasi,
penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut harus didasarkan pada kehendak
rakyatnya. Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, negara di bentuk
melalui perjanjian masyarakat dan dalam perjanjian itu rakyat menyerahkan
hak-haknya baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak penguasa.[9]
Kaitannya dengan
pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.[10]
Pengelolaan yang dimaksud, dalam UUPA disebut dengan Hak Menguasai Negara. Perwujudan
pelaksanaan hak-hak rakyat yang dilimpahkan kepada negara dapat ditemukan dalam
konteks Hak Menguasai Negara tersebut. Dalam sistematika hukum tanah nasional,
Hak Menguasai Negara atas tanah adalah hak yang bersumber pada Hak Bangsa
Indonesia atas tanah. Hak Bangsa merupakan hak penguasaan atas tanah yang
tertinggi. Hak Menguasai Negara tidak dapat dimaknai sebagai suatu hubungan
pemilikan dalam aspek hukum privat. Menurut Yudhi Setiawan, makna dikuasai harus
dimaknai bahwa kepada negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi yang
diberikan kewenangan yang tidak terbatas hanya pada pengaturan, pengurusan dan
pengawasan terhadap hak-hak perorangan akan tetapi negara mempunyai kewajiban
untuk secara aktif ambil bagian usaha mencapai kesejahteraan rakyat.[11]
Perlu disampaikan
terlebih dahulu bahwa pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum,
sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pasca
diundangkannya UUPA, diundangkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada
Diatasnya (UU Pencabutan Tanah). Dalam peraturan perundang-undangan berikutnya
termasuk peraturan pelaksanannya, kegiatan pencabutan hak atas tanah untuk
kepentingan umum lazim disebut dengan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Setelah diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2012 lebih mengukuhkan penggunaan istilah pengadaan tanah.
Pengadaan tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak. Secara filosofis pengadaan tanah dilakukan untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang
pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil. Adapun
tujuan pengadaan tanah adalah menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan
masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
Dalam rangka pengadaan
tanah, yang menjadi objek dalam kegiatan tersebut adalah tanah, ruang atas
tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah,
atau lainnya yang dapat dinilai. Penafsiran tanah sebagai objek utama dalam
pengadaan tanah dapat diperluas. Menurut Arie S. Hutagalung, penafsiran tanah
didasarkan pada Hukum Tanah Nasional yang mengenal 3 (tiga) macam status tanah,
yaitu antara lain tanah negara, tanah hak dan tanah ulayat.[12]
Termasuk di dalamnya adalah tanah Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh
instansi-instansi tertentu.
Dalam UU Pengadaan
Tanah, memang tidak diatur secara tegas bahwa tanah ulayat merupakan objek
pengadaan tanah. Namun, berdasarkan penafsiran di atas, pengadaan tanah dapat
dilaksanakan terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat. Penafsiran tersebut
didukung oleh ketentuan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa pendataan awal
proses pengadaan tanah dilakukan juga terhadap pihak yang memiliki atau
menguasai objek pengadaan tanah. Salah satu pihak yang disebutkan dalam
ketentuan tersebut adalah masyarakat hukum adat.[13]
Jika mengacu pada hak tradisional yang dimiliki masyarakat hukum adat yang
kemudian disebut dengan Hak ulayat, maka tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa
disebutnya masyarakat hukum adat sebagai pihak yang perlu didata karena
konsekuensi atas kepemilikan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat (Hak
ulayat).
Pelepasan Hak ulayat
masyarakat hukum adat untuk pembangunan kepentingan umum, harus dilaksanakan
sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan.
Namun, dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, tidak pula dapat mengesampingkan
ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang dibuat oleh lembaga-lembaga
adatnya atas dasar aspirasi masyarakatnya. Hal tersebut disebabkan karena
sistem hukum nasional masih mengakui bahkan norma-normanya digunakan dalam
pembangunan hukum nasional.
Dalam praktiknya,
kenyataan tersebut dapat dilihat di daerah Bali, dimana terdapat lembaga adat
yang disebut dengan Desa Pakraman yang
mengatur masyarakat hukum adatnya melalui awig-awig
(hukum adat setempat). Awig-awig
berisi ketentuan-ketentuan tentang hukum publik, termasuk ketentuan jika ada
pihak lain yang akan memanfaatkan atau menggunakan tanah ulayat setempat.
Menurut I Nyoman Budiana, hal tersebut merupakan wujud otonomi yang dimiliki
masyarakat hukum adat.[14]
Dalam pelaksanaan
pengadaan tanah, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan,
sehingga kegiatan tersebut tidak menimbulkan abuse of power. Menurut Oloan Sitorus dan Dayat Limbong,
prinsip-prinsip tersebut adalah : prinsip yang mendasari pengadaan tanah oleh pemerintah tersebut
mengacu yaitu :
a. kesejahteraan
rakyat adalah hukum yang tertinggi ;
b. kepentingan umum
lebih besar daripada kepentingan pribadi ;
c. penguasa dan
negara, dengan alasan yang layak/memadai, dapat mengambilalih kepentingan
pribadi ;
d. hukum mewajibkan
seseorang untuk mendahulukan kepentingan negara daripada keselamatan pribadinya[15]
Atas dasar prinsip-prinsip tersebut, maka Hak Ulayat yang
merupakan hak tradisional masyarakat hukum adat diakui sebagai bagian dari hak
asasi manusia. Kemudian, sekalipun Hak Ulayat diatur dengan hukum adat yang
secara otonom mengatur masyarakatnya, tidaklah dibenarkan mengabaikan
kepentingan nasional. Menurut Urip Santoso, jika terdapat hukum adat yang
menghalangi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum, tentunya ini akan
bertentangan dengan sosialisme Indonesia.[16]
Sosialisme Indonesia yang mengutamakan keadilan sosial dan kesejahteraan
bersama. Sehingga jika sosialisme Indonesia dipahami, maka kesejahteraan umum
yang ingin dicapai dengan adanya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat
terwujud.
Untuk dapat mewujudkan
pengadaan tanah terhadap Hak Ulayat, proses yang ditentukan oleh
perundang-undangan harus dijalankan. Salah satunya adalah melalui musyawarah.
Musyawarah merupakan salah satu cara pengambilan keputusan yang bersifat
demokratis. Menurut Achmad Sodiki, prinsip mendengar dan saling menerima (to give a little and to take a little)
adalah cara untuk mencapai kesepakatan yang bulat.[17] Pemberian
recognitie, mendengar pendapat serta
mendapat persetujuan masyarakat hukum adat merupakan salah satu cara yang dapat
dilaksanakan untuk tetap memberikan penghargaan dan upaya menghormati
eksistensi Hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut.
3.
Problematika
Hak Ulayat Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Hubungan
masyarakat hukum adat dengan Hak Ulayat mempunyai hubungan lahiriah dan
batiniah secara turun temurun serta tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Wacana pencabutan hak
ulayat demi kepentingan umum menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Bagi masyarakat hukum adat, tanah dikatakan memiliki fungsi yang penting. Tanah
merupakan tempat dimana warga masyarakat hukum adat bertempat tinggal, dan
tanah juga memberikan penghidupan.[18]
Dalam UU Pengadaan
Tanah memang tidak disebutkan secara tegas tentang pencabutan terhadap UU
Pencabutan Tanah. Namun, semestinya UU Pencabutan Tanah dapat dinyatakan telah
dicabut secara diam-diam oleh UU Pengadaan Tanah atas dasar asas lex posteriore derogate lex priori atau
Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku
terdahulu dalam hal substansi pokok yang diatur di dalamnya sama. Dalam hal ini
substansi yang diatur dalam UU Pengadaan Tanah dengan UU Pencabutan Tanah
mempunyai substansi pokok yang sama yaitu pembebasan tanah bagi keperluan
pembangunan untuk kepentingan umum.
Pencabutan
hak atas tanah maupun pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada dasarnya bersumber pada Pasal 6 dan Pasal 18 UUPA. Masing-masing pasal
tersebut mengatur bahwa
semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial dan hak-hak atas tanah dapat
dicabut
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat. Dalam UU Pengadaan Tanah disebutkan bahwa
objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan,
tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.[19]
Dalam memaknai tanah sebagai obejek pengadaan tanah, haruslah dimaknai tanah
tersebut dalam arti yuridis, yaitu permukaan bumi. Oleh Boedi Harsono
dijelaskan bahwa tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak
atas tanah yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan.[20] Hak-hak atas tanah yang dimaksud adalah hak atas tanah yang diatur dalam
Pasal 16 UUPA.[21] Dalam ketentuan tersebut tidak diatur dengan
tegas bahwa Hak Ulayat merupakan bagian dari hak
atas tanah yang dimaksud
Pada dasarnya Hak Ulayat tidak dapat disamakan dengan hak atas tanah.
Perbedaan yang paling mendasar adalah Hak Ulayat merupakan hak tradisional yang
bersifat komunal. Sedangkan hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah hak-hak perorangan
atas tanah, sesuai dengan
sistematika hak penguasaan atas tanah. Berdasarkan hal tersebut di atas,
sesungguhnya tanah Hak Ulayat tidak dapat dimasukkan menjadi objek pengadaan
tanah
karena tidak terdapat dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, pengadaan tanah terhadap Hak Ulayat
merupakan tindakan yang inkonstitusional terhadap ketentuan hak asasi manusia.
Banyaknya tentangan
oleh kelompok masyarakat hukum adat terkait pelaksanaan pencabutan hak ulayat
untuk kepentingan umum cukup beralasan. Dengan adanya kegiatan tersebut maka konsepsi
komunalistik religius dari Hak Ulayat akan tereduksi. Dalam konsepsi tersebut
sifat komunalistik mengandung makna
bahwa tanah ulayat adalah hak bersama masyarakat hukum adat. Dengan adanya
sifat komunal tersebut maka, setiap individu masyarakat hukum adat mempunyai
hak untuk memungut hasil atau mengambil manfaat atas tanah ulayat tersebut
untuk keperluan melangsungkan kehidupan. Sifat religius bermakna bahwa, tanah atau pun jenis-jenis hak ulayat
lainnya diyakini sebagai karunia peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan
masyarakat hukum adat. Sehingga terdapat adanya hubungan batiniah antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan tanah tersebut. Permasalahan lain yang akan muncul jika pengadaan tanah terhadap
tanah ulayat dilaksanakan adalah wujud ganti rugi yang akan diberikan kepada
masyarakat hukum adat. Paling dekat penggantian yang tepat diberikan adalah
mengganti dengan tanah di tempat lain. Namun, ikatan psikososialnya antara
masyarakat hukum adat dengan tanah pengganti tersebut belum tentu sama dengan
tanah sebelumnya, karena ikatan dengan leluhur terdapat pada tanah yang lama.[22]
Pengakuan-pengakuan
terhadap Hak Ulayat yang selama ini telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan termasuk juga yang telah diakui dalam UUD, harus
dilaksanakan secara benar tanpa ada kesewenang-wenangan. Seperti halnya
kesewenang-wenangan Negara yang mengklaim bahwa Hutan Adat adalah Hutan Negara
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) yang
kemudian pasal yang menyatakan hal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi. Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu
Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu mengajukan permohonan uji materi terhadap
beberapa ketentuan dalam UU Kehutanan. Salah satunya adalah ketentuan Pasal 1
angka 6 yang mengatur hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 35/PUU-X/2012
menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga pasal tersebut menjadi hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah
masyarakat hukum adat. Karena jika ketentuan tersebut tidak
dibatalkan, maka konsekuensi hukumnya adalah negara mempunyai kewenangan penuh
untuk penguasaan, mengelola peruntukkan dan pemeliharaan hutan. Sehingga
kaitannya untuk kepentingan umum, Hutan Adat yang merupakan Hak Ulayat
masyarakat hukum adat dapat dengan mudah untuk dilepaskan dari masyarakat tanpa
melalui proses musyawarah dengan masyarakat hukum adat sebagai pemilik Hutan
Adat yang sebenarnya.
Indonesia sebagai
penganut Negara Hukum sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 UUD
harusnya dapat memahami dan menjalankan konsep negara hukum. Dalam konsep
Negara Hukum terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi salah satunya adalah
perlindungan hak asasi manusia. Perlindungan hak asasi manusia sebenarnya telah
diakui dan diatur dalam UUD. Akan tetapi secara empiris pelaksanaannya, masih
terjadi banyak pelanggaran. Dalam kasus pengadaan tanah untuk kepentingan umum
terhadap Hak Ulayat, seharusnya perlindungan hak asasi tetap diutamakan. Hal
tersebut disebabkan karena, masyarakat hukum adat adalah pemegang hak yang
diakui dan dihormati oleh konstitusi. Terhadap perampasan hak tradisionalnya
juga tergolong pelanggaran hak asasi manusia.
Pada dasarnya,
masyarakat hukum adat mempunyai peran yang sangat strategis dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Pengakuan masyarakat hukum adat dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara internasional berawal dari hasil Earth Summit di Rio de Janeiro pada
tahun 1992 dengan dikeluarkannya Rio Declaration on Environment and Development.
Dalam Prinsip 22 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai peranan
penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup karena pengetahuan
dan praktik tradisional. Oleh karenanya negara harus mengenal dan mendukung
entitas, kebudayaan dan kepentingan mereka serta memberikan kesempatan untuk
berpartisipasi aktif dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).[23]
Hilangnya lebensraum
masyarakat hukum adat akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum, secara
tidak langsung mereduksi pengakuan masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Kelestarian
alam dan lingkungan hidup yang tetap terjaga kelestariannya saat Hak Ulayat dan
masyarakat adatnya ada, akan hilang. Pengelolaan hutan dan sumber energi secara
adat adalah wujud manfaat tetap terjaganya eksistensi Hak Ulayat dan masyarakat
adat. Hal tersebut merupakan wujud dari konsep pembangunan berkelanjutan yang
sebenarnya.
C. PENUTUP
Kesimpulan dan Gagasan
Salah satu upaya yang
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dapat dilakukan
dengan pembangunan infrastruktur penunjang aktivitas ekonomi. Pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terhadap
Hak Ulayat masyarakat hukum adat tentunya dijalankan atas dasar untuk memajukan
kesejahteraan umum sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945. Sekalipun Hak Ulayat diakui keberadaannya
sebagai hak tradisional masyarakat adat yang otonom, tidaklah kemudian
dibenarkan mengabaikan kepentingan nasional. Jika pengabaian tersebut terjadi,
maka keadilan sosial dan kesejahteraan bersama sebagai perwujudan konsep
sosialisme Indonesia untuk mencapai kesejahteraan umum yang dicita-citakan
dakan sulit terwujud.
Dalam praktiknya pelaksanaan
kegiatan tersebut di atas sangat rentan dengan terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat yang mengambil manfaat atas
Hak Ulayat yang dimiliki. Hal tersebut disebabkan karena secara yuridis
menjadikan Hak Ulayat sebagai objek pengadaan tanah, belum mempunyai dasar
hukum yang jelas. Disamping itu, dengan dirampasnya Hak Ulayat mereka yang
sekaligus merupakan lebensraum, maka
hak untuk melangsungkan kehidupan yang dilindungi sebagai bagian dari hak dasar
manusia akan ikut terampas. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat hukum adat
sangat menggantungkan kehidupannya dari Hak Ulayatnya. Karena sumber kehidupan
dan ikatan batiniah dengan leluhur ada di wilayah tersebut. Sesungguhnya harus
diakui bersama, bahwa eksistensi Hak Ulayat dan masyarakat hukum adat, ternyata
memberikan dampak positif terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan hidup,
kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustanaible development).
Oleh karena itu, sangat perlu segera
dirancang dan disahkan undang-undang yang mengatur tentang perlindungan Hak
Ulayat masyarakat hukum adat, yang di dalamnnya juga mengatur bagaimana peran
Hak Ulayat terhadap pembangunan nasional. Karena, tidaklah cukup hanya sekedar
pengakuan terhadap Hak Ulayat yang selama ini diberikan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Disamping itu, sinkronisasi perundang-undangan
tentang pengaturan Hak Ulayat juga sangat penting.
Daftar
Pustaka
Arie S.
Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran
Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta : Lembaga Pemberdayaan Hukum
Indonesia.
Boedi Harsono,
2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan
Moh.Kusnardi dan Bintan R. Saragih,
1995, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya
Media Pratama.
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta : Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia.
Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Jakarta :
Rajawali.
Sudjarwo
Marsoem, Wahyono Adi dan Pieter G. Manoppo, 2015, Pedoman Lengkap Ganti Untung Pengadaan Tanah Memetakan Solusi Strategis
Pengembangan Infrastruktur di Indonesia, Jakarta : Renebook.
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana.
Yudhi Setiawan,
2010, Hukum Pertanahan Nasional Teori dan
Praktik, Malang : Bayumedia Publishing.
I Nyoman
Budiana, Memahami Otonomi Desa Pakraman
Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali (Kajian Dari Perspektif Hirarki
Perundang-Undangan Indonesia), Jurnal Konstitusi PKK Fakultas Hukum
Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Volume I Nomor 1, Juni 2011 Jakarta :
Mahkamah Konstitusi.
, 26 April 2014,
Hak Masyarakat Hukum Adat dan Peran Serta
Desa Adat Dalam Perlindungan Masyarakat Adatnya, disampaikan Dalam Seminar
Dewan Perwakilan Daerah RI dalam Kajian Hukum Adat Bali di Tengah Modernisasi
Pembangunan dan Arus Budaya Global, di Kampus Mahasaraswati Denpasar.
Achmad Sodiki, “Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan”, Disampaikan Dalam Penataran dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum
Dagang dan Hukum EkonomiYang Diselenggarakan Fakultas Hukum Brawijaya tanggal
29-31 Juli 1996.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
,Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
,Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
,Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
,Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012.
Ferry Santoso, Memacu Gerak Gerbong Ekonomi, Kompas, 06 Mei 2015, hlm. 17.
[1] Ferry Santoso, Memacu Gerak
Gerbong Ekonomi, Kompas, 06 Mei 2015,
hlm. 17.
[2]Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum
Tanah, (Jakarta : Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm. 119.
[3] Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960.
[4] Ketentuan Pasal 18 B ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[5] Ketentuan Pasal 28 I ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[6] I Nyoman Budiana, 26 April 2014,
Hak Masyarakat Hukum Adat dan Peran Serta
Desa Adat Dalam Perlindungan Masyarakat Adatnya, (disampaikan Dalam Seminar
Dewan Perwakilan Daerah RI dalam Kajian Hukum Adat Bali di Tengah Modernisasi
Pembangunan dan Arus Budaya Global, di Kampus Mahasaraswati Denpasar), hlm.2
[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan,
2005), hlm. 185-186.
[8] Ketentuan Pasal 2 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
[9] Moh.Kusnardi dan Bintan R.
Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 1995), hlm. 50.
[10] Ketentuan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
[11] Yudhi Setiawan, Hukum Pertanahan Nasional Teori dan Praktik,
Cetakan Pertama, (Malang : Bayumedia Publishing, 2010), hlm. 9.
[12] Arie S. Hutagalung, Op.Cit, hlm. 174.
[13] Ketentuan Pasal 17 ayat (2)
huruf e Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012.
[14] I Nyoman Budiana, Memahami Otonomi Desa Pakraman Sebagai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat di Bali (Kajian Dari Perspektif Hirarki
Perundang-Undangan Indonesia), Jurnal Konstitusi PKK Fakultas Hukum
Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Volume I Nomor 1, Juni 2011 (Jakarta :
Mahkamah Konstitusi, 2011), hlm. 25-26.
[15] Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,
(Yogyakarta, 2004), hlm. 1.
[16] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah,
Cetakan ke 6, (Jakarta :Kencana, 2010), hlm. 70.
[17]
Achmad Sodiki, “Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan”, Disampaikan Dalam Penataran dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum
Dagang dan Hukum EkonomiYang Diselenggarakan Fakultas Hukum Brawijaya tanggal
29-31 Juli 1996.
[18] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta :
Rajawali, 1983), hlm. 192
[19] Ketentuan Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012.
[20] Boedi Harsono, Op.Cit, hlm. 18.
[21] Ketentuan
Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 adalah hak-hak
atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 adalah : hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak –hak
tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
[22] Sudjarwo Marsoem, Wahyono Adi
dan Pieter G. Manoppo, Pedoman Lengkap
Ganti Untung Pengadaan Tanah Memetakan Solusi Strategis Pengembangan
Infrastruktur di Indonesia, Cetakan 1, (Jakarta : Renebook, 2015), hlm.
232.
[23] Pertimbangan Hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar