Laman

Kamis, 16 Februari 2017

PERAN DAN PROBLEMATIKA HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Ditulis Oleh : 
1. Yoga Ariadnya
2. Ita Utari
3. Diah Indrawati

PERAN DAN PROBLEMATIKA HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

A.    PENDAHULUAN
Selepas Indonesia merdeka maupun setelah masuk pada era reformasi, pembangunan nasional di segala lini terus dilakukan. Pembangunan nasional yang dimaksud, berlangsung di seluruh daerah di Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyamaratakan tingkat perekonomian di seluruh Indonesia sesuai dengan amanat dari pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) yang mengamanatkan agar pemerintah memajukan kesejahteraan umum.
Memasuki tahun 2015, pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan, khususnya pada triwulan pertama. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa ekonomi Indonesia pada triwulan pertama tahun 2015 terhadap triwulan pertama tahun 2014 hanya tumbuh 4,71 persen. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2014 sebesar 5,14.[1] Dengan adanya penurunan laju pertumbuhan ekonomi tersebut tentu akan disikapi dengan cepat oleh pemerintah dengan memperbanyak program-program pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud membutuhkan ketersediaan lahan yang tidak sedikit. Tanah yang dikuasai langsung oleh negara (tanah negara) tidak dapat memenuhi kebutuhan lahan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, untuk memenuhinya maka dilakukanlah pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan yang menjadi objek pengadaan lahan tersebut adalah tanah milik masyarakat.
Tanah milik masyarakat yang menjadi objek pengadaan tanah, tidak hanya tanah milik yang bersifat pribadi dan individu namun juga ditafsirkan terhadap tanah komunal milik masyarakat hukum adat, yang merupakan bagian dari Hak Ulayat. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan pencabutan hak atas tanah yang menjadi objek pengadaan. Namun, pencabutan hak atas tanah tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilaksankan sekalipun telah dilandasi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tingginya intensitas kegiatan pembangunan infrastruktur yang kemudian dibarengi dengan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum, tidak jarang menimbulkan konflik vertikal maupun konflik horizontal. Pencabutan hak atas tanah terhadap tanah-tanah komunal masyarakat adat mempunyai tingkat kerentanan konflik yang sangat tinggi. Menurut Arie S. Hutagalung, praktek-praktek pengadaan tanah untuk proyek pembangunan dengan dalil untuk kepentingan umum di lokasi tanah masyarakat hukum adat dilakukan secara tidak bijaksana, sehingga menimbulkan sengketa tanah tersebut yang sampai saat ini belum terselesaikan.[2]
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, pencabutan Hak Ulayat untuk kepentingan umum menimbulkan pro dan kontra. Pada satu sisi, kegiatan tersebut sangat diperlukan untuk pembangunan infrastruktur dalam rangka  percepatan pertumbuhan perekonomian, namun di sisi lain kegiatan tersebut juga menimbulkan kerugian bagi masyarakat hukum adat si empunya Hak Ulayat. Oleh karena itu, sangat perlu untuk dibahas secara lebih mendalam dalam pembahasan, terkait dengan kondisi tersebut di atas.
B.    PEMBAHASAN
1.     Aspek Hukum Hak Ulayat
Hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disebut sebagai Hak Ulayat. Dalam UUPA eksistensi keberadaan hak ulayat tersebut mendapatkan pengakuan dengan menyebutkan pelaksanaan hak ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.[3] Keberadaan Hak ulayat bagi kehidupan masyarakat adat, mempunyai makna dan fungsi yang sangat strategis dalam keberlangsungan kehidupannya.
Pengakuan dan perlindungan hukum terhadap eksistensi hak tradisional masyarakat hukum adat juga termuat dalam peraturan yang lebih tinggi, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut dengan UUD. Dalam UUD disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.[4] Disamping itu, UUD juga mengakui bahwa hak tradisional tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang tetap harus dihormati, sekalipun tetap harus selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.[5] Berdasarkan ketentuan tersebut maka Hak ulayat masyarakat hukum adat adalah hak dasar yang melekat dalam kehidupan masyarakat tersebut yang bukan merupakan pemberian negara. Sama halnya dengan hak dasar yang melekat dalam setiap manusia, misalnya hak untuk hidup, yang bukan merupakan pemberian negara.
Dalam dunia internasional hak-hak masyarakat hukum adat juga telah mendapatkan pengakuan. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2007 tentang Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat menyatakan bahwa pengakuan atas hak-hak masyarakat adat akan bermanfaat meningkatkan keharmonisan dan hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat adat, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, tanpa diskriminasi dan dapat dipercaya.[6]
Boedi Harsono memberikan pandangan tentang apa yang dimaksud dengan Hak ulayat, yaitu serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.[7] Dalam pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hak ulayat merupakan bagian dari wilayah masyarakat hukum adat yang merupakan sekaligus lebensraum masyarakat tersebut. Sebagai lebensraum masyarakat hukum adat, Hak ulayat tidak hanya terbatas pada tanah ulayat saja. Namun, hak ulayat juga meliputi hutan adat, sumber-sumber air, kolam dan termasuk pula tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada dan hidup di atas tanah ulayat, yang dapat dimanfaatkan secara komunal oleh msyarakat hukum adat.
Pada dasarnya, eksistensi Hak ulayat hingga kini di berbagai wilayah di Indonesia masih tetap terjaga. Bahkan, keberadaannya tetap dipertahankan dan terus diupayakan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang lebih dari Negara. Sebenarnya terdapat beberapa tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui bahwa eksistensi Hak ulayat tersebut masih tetap terjaga, yaitu :
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
a.      Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari ;
b.     Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan ;
c.      Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.[8] 

Berdasarkan kriteria tersebut di atas, jika di suatu daerah kriteria tersebut terpenuhi maka tidak dapat dibenarkan pihak manapun untuk bertindak secara sewenang-wenang untuk mereduksi atau bahkan menghilangkan Hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut, termasuk negara. Eksistensi keberadaan Hak Ulayat sejauh ini yang diatur dan dikelola secara bijaksana oleh masyarakat hukum adat, dapat memberikan pengaruh positif. Pengaruh positif yang paling sering dijumpai adalah terjaganya kelestarian alam dan lingkungan hidup.
2.     Hak Ulayat Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang di dalamnya memenuhi syarat mempunyai wilayah, rakyat dan pemerintahan. Kaitannya dengan negara demokrasi, penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut harus didasarkan pada kehendak rakyatnya. Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, negara di bentuk melalui perjanjian masyarakat dan dalam perjanjian itu rakyat menyerahkan hak-haknya baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak penguasa.[9]
Kaitannya dengan pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.[10] Pengelolaan yang dimaksud, dalam UUPA disebut dengan Hak Menguasai Negara. Perwujudan pelaksanaan hak-hak rakyat yang dilimpahkan kepada negara dapat ditemukan dalam konteks Hak Menguasai Negara tersebut. Dalam sistematika hukum tanah nasional, Hak Menguasai Negara atas tanah adalah hak yang bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Hak Bangsa merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Hak Menguasai Negara tidak dapat dimaknai sebagai suatu hubungan pemilikan dalam aspek hukum privat. Menurut Yudhi Setiawan, makna dikuasai harus dimaknai bahwa kepada negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi yang diberikan kewenangan yang tidak terbatas hanya pada pengaturan, pengurusan dan pengawasan terhadap hak-hak perorangan akan tetapi negara mempunyai kewajiban untuk secara aktif ambil bagian usaha mencapai kesejahteraan rakyat.[11]
Perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pasca diundangkannya UUPA, diundangkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (UU Pencabutan Tanah). Dalam peraturan perundang-undangan berikutnya termasuk peraturan pelaksanannya, kegiatan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum lazim disebut dengan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Setelah diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 lebih mengukuhkan penggunaan istilah pengadaan tanah.
Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Secara filosofis pengadaan tanah dilakukan untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil. Adapun tujuan pengadaan tanah adalah menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
Dalam rangka pengadaan tanah, yang menjadi objek dalam kegiatan tersebut adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. Penafsiran tanah sebagai objek utama dalam pengadaan tanah dapat diperluas. Menurut Arie S. Hutagalung, penafsiran tanah didasarkan pada Hukum Tanah Nasional yang mengenal 3 (tiga) macam status tanah, yaitu antara lain tanah negara, tanah hak dan tanah ulayat.[12] Termasuk di dalamnya adalah tanah Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh instansi-instansi tertentu.
Dalam UU Pengadaan Tanah, memang tidak diatur secara tegas bahwa tanah ulayat merupakan objek pengadaan tanah. Namun, berdasarkan penafsiran di atas, pengadaan tanah dapat dilaksanakan terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat. Penafsiran tersebut didukung oleh ketentuan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa pendataan awal proses pengadaan tanah dilakukan juga terhadap pihak yang memiliki atau menguasai objek pengadaan tanah. Salah satu pihak yang disebutkan dalam ketentuan tersebut adalah masyarakat hukum adat.[13] Jika mengacu pada hak tradisional yang dimiliki masyarakat hukum adat yang kemudian disebut dengan Hak ulayat, maka tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa disebutnya masyarakat hukum adat sebagai pihak yang perlu didata karena konsekuensi atas kepemilikan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat (Hak ulayat). 
Pelepasan Hak ulayat masyarakat hukum adat untuk pembangunan kepentingan umum, harus dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan. Namun, dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, tidak pula dapat mengesampingkan ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang dibuat oleh lembaga-lembaga adatnya atas dasar aspirasi masyarakatnya. Hal tersebut disebabkan karena sistem hukum nasional masih mengakui bahkan norma-normanya digunakan dalam pembangunan hukum nasional. 
Dalam praktiknya, kenyataan tersebut dapat dilihat di daerah Bali, dimana terdapat lembaga adat yang disebut dengan Desa Pakraman yang mengatur masyarakat hukum adatnya melalui awig-awig (hukum adat setempat). Awig-awig berisi ketentuan-ketentuan tentang hukum publik, termasuk ketentuan jika ada pihak lain yang akan memanfaatkan atau menggunakan tanah ulayat setempat. Menurut I Nyoman Budiana, hal tersebut merupakan wujud otonomi yang dimiliki masyarakat hukum adat.[14]
Dalam pelaksanaan pengadaan tanah, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus diperhatikan, sehingga kegiatan tersebut tidak menimbulkan abuse of power. Menurut Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, prinsip-prinsip tersebut adalah : prinsip yang mendasari pengadaan tanah oleh pemerintah tersebut mengacu yaitu :
a.   kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi ;
b.   kepentingan umum lebih besar daripada kepentingan pribadi ;
c.   penguasa dan negara, dengan alasan yang layak/memadai, dapat mengambilalih kepentingan pribadi ;
d.   hukum mewajibkan seseorang untuk mendahulukan kepentingan negara daripada keselamatan pribadinya[15]

Atas dasar prinsip-prinsip tersebut, maka Hak Ulayat yang merupakan hak tradisional masyarakat hukum adat diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kemudian, sekalipun Hak Ulayat diatur dengan hukum adat yang secara otonom mengatur masyarakatnya, tidaklah dibenarkan mengabaikan kepentingan nasional. Menurut Urip Santoso, jika terdapat hukum adat yang menghalangi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum, tentunya ini akan bertentangan dengan sosialisme Indonesia.[16] Sosialisme Indonesia yang mengutamakan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Sehingga jika sosialisme Indonesia dipahami, maka kesejahteraan umum yang ingin dicapai dengan adanya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat terwujud.
Untuk dapat mewujudkan pengadaan tanah terhadap Hak Ulayat, proses yang ditentukan oleh perundang-undangan harus dijalankan. Salah satunya adalah melalui musyawarah. Musyawarah merupakan salah satu cara pengambilan keputusan yang bersifat demokratis. Menurut Achmad Sodiki, prinsip mendengar dan saling menerima (to give a little and to take a little) adalah cara untuk mencapai kesepakatan yang bulat.[17] Pemberian recognitie, mendengar pendapat serta mendapat persetujuan masyarakat hukum adat merupakan salah satu cara yang dapat dilaksanakan untuk tetap memberikan penghargaan dan upaya menghormati eksistensi Hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut.
3.     Problematika Hak Ulayat Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Hubungan masyarakat hukum adat dengan Hak Ulayat mempunyai hubungan lahiriah dan batiniah secara turun temurun serta tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Wacana pencabutan hak ulayat demi kepentingan umum menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagi masyarakat hukum adat, tanah dikatakan memiliki fungsi yang penting. Tanah merupakan tempat dimana warga masyarakat hukum adat bertempat tinggal, dan tanah juga memberikan penghidupan.[18]
Dalam UU Pengadaan Tanah memang tidak disebutkan secara tegas tentang pencabutan terhadap UU Pencabutan Tanah. Namun, semestinya UU Pencabutan Tanah dapat dinyatakan telah dicabut secara diam-diam oleh UU Pengadaan Tanah atas dasar asas lex posteriore derogate lex priori atau Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu dalam hal substansi pokok yang diatur di dalamnya sama. Dalam hal ini substansi yang diatur dalam UU Pengadaan Tanah dengan UU Pencabutan Tanah mempunyai substansi pokok yang sama yaitu pembebasan tanah bagi keperluan pembangunan untuk kepentingan umum.
Pencabutan hak atas tanah maupun pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada dasarnya bersumber pada Pasal 6 dan Pasal 18 UUPA. Masing-masing pasal tersebut mengatur bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial dan hak-hak atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat. Dalam UU Pengadaan Tanah disebutkan bahwa objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.[19] Dalam memaknai tanah sebagai obejek pengadaan tanah, haruslah dimaknai tanah tersebut dalam arti yuridis, yaitu permukaan bumi. Oleh Boedi Harsono dijelaskan bahwa tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak atas tanah yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan.[20] Hak-hak atas tanah yang dimaksud adalah hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA.[21] Dalam ketentuan tersebut tidak diatur dengan tegas bahwa Hak Ulayat merupakan bagian dari hak atas tanah yang dimaksud
Pada dasarnya Hak Ulayat tidak dapat disamakan dengan hak atas tanah. Perbedaan yang paling mendasar adalah Hak Ulayat merupakan hak tradisional yang bersifat komunal. Sedangkan hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah hak-hak perorangan atas tanah, sesuai dengan sistematika hak penguasaan atas tanah. Berdasarkan hal tersebut di atas, sesungguhnya tanah Hak Ulayat tidak dapat dimasukkan menjadi objek pengadaan tanah karena tidak terdapat dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, pengadaan tanah terhadap Hak Ulayat merupakan tindakan yang inkonstitusional terhadap ketentuan hak asasi manusia.
Banyaknya tentangan oleh kelompok masyarakat hukum adat terkait pelaksanaan pencabutan hak ulayat untuk kepentingan umum cukup beralasan. Dengan adanya kegiatan tersebut maka konsepsi komunalistik religius dari Hak Ulayat akan tereduksi. Dalam konsepsi tersebut sifat komunalistik mengandung makna bahwa tanah ulayat adalah hak bersama masyarakat hukum adat. Dengan adanya sifat komunal tersebut maka, setiap individu masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk memungut hasil atau mengambil manfaat atas tanah ulayat tersebut untuk keperluan melangsungkan kehidupan. Sifat religius bermakna bahwa, tanah atau pun jenis-jenis hak ulayat lainnya diyakini sebagai karunia peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat. Sehingga terdapat adanya hubungan batiniah antara masyarakat hukum adat tersebut dengan tanah tersebut. Permasalahan lain yang akan muncul jika pengadaan tanah terhadap tanah ulayat dilaksanakan adalah wujud ganti rugi yang akan diberikan kepada masyarakat hukum adat. Paling dekat penggantian yang tepat diberikan adalah mengganti dengan tanah di tempat lain. Namun, ikatan psikososialnya antara masyarakat hukum adat dengan tanah pengganti tersebut belum tentu sama dengan tanah sebelumnya, karena ikatan dengan leluhur terdapat pada tanah yang lama.[22]
Pengakuan-pengakuan terhadap Hak Ulayat yang selama ini telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan termasuk juga yang telah diakui dalam UUD, harus dilaksanakan secara benar tanpa ada kesewenang-wenangan. Seperti halnya kesewenang-wenangan Negara yang mengklaim bahwa Hutan Adat adalah Hutan Negara dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) yang kemudian pasal yang menyatakan hal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat yaitu Kanegerian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu mengajukan permohonan uji materi terhadap beberapa ketentuan dalam UU Kehutanan. Salah satunya adalah ketentuan Pasal 1 angka 6 yang mengatur hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 menyatakan bahwa Pasal 1 angka 6 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal tersebut menjadi hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Karena jika ketentuan tersebut tidak dibatalkan, maka konsekuensi hukumnya adalah negara mempunyai kewenangan penuh untuk penguasaan, mengelola peruntukkan dan pemeliharaan hutan. Sehingga kaitannya untuk kepentingan umum, Hutan Adat yang merupakan Hak Ulayat masyarakat hukum adat dapat dengan mudah untuk dilepaskan dari masyarakat tanpa melalui proses musyawarah dengan masyarakat hukum adat sebagai pemilik Hutan Adat yang sebenarnya.
Indonesia sebagai penganut Negara Hukum sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 UUD harusnya dapat memahami dan menjalankan konsep negara hukum. Dalam konsep Negara Hukum terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi salah satunya adalah perlindungan hak asasi manusia. Perlindungan hak asasi manusia sebenarnya telah diakui dan diatur dalam UUD. Akan tetapi secara empiris pelaksanaannya, masih terjadi banyak pelanggaran. Dalam kasus pengadaan tanah untuk kepentingan umum terhadap Hak Ulayat, seharusnya perlindungan hak asasi tetap diutamakan. Hal tersebut disebabkan karena, masyarakat hukum adat adalah pemegang hak yang diakui dan dihormati oleh konstitusi. Terhadap perampasan hak tradisionalnya juga tergolong pelanggaran hak asasi manusia.
Pada dasarnya, masyarakat hukum adat mempunyai peran yang sangat strategis dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pengakuan masyarakat hukum adat dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara internasional berawal dari hasil Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992 dengan dikeluarkannya Rio Declaration on Environment and Development. Dalam Prinsip 22 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai peranan penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup karena pengetahuan dan praktik tradisional. Oleh karenanya negara harus mengenal dan mendukung entitas, kebudayaan dan kepentingan mereka serta memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).[23]
Hilangnya lebensraum masyarakat hukum adat akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum, secara tidak langsung mereduksi pengakuan masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.  Kelestarian alam dan lingkungan hidup yang tetap terjaga kelestariannya saat Hak Ulayat dan masyarakat adatnya ada, akan hilang. Pengelolaan hutan dan sumber energi secara adat adalah wujud manfaat tetap terjaganya eksistensi Hak Ulayat dan masyarakat adat. Hal tersebut merupakan wujud dari konsep pembangunan berkelanjutan yang sebenarnya.
C. PENUTUP
Kesimpulan dan Gagasan
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dapat dilakukan dengan pembangunan infrastruktur penunjang aktivitas ekonomi. Pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terhadap Hak Ulayat masyarakat hukum adat tentunya dijalankan atas dasar untuk memajukan kesejahteraan umum sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945. Sekalipun Hak Ulayat diakui keberadaannya sebagai hak tradisional masyarakat adat yang otonom, tidaklah kemudian dibenarkan mengabaikan kepentingan nasional. Jika pengabaian tersebut terjadi, maka keadilan sosial dan kesejahteraan bersama sebagai perwujudan konsep sosialisme Indonesia untuk mencapai kesejahteraan umum yang dicita-citakan dakan sulit terwujud.
            Dalam praktiknya pelaksanaan kegiatan tersebut di atas sangat rentan dengan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat yang mengambil manfaat atas Hak Ulayat yang dimiliki. Hal tersebut disebabkan karena secara yuridis menjadikan Hak Ulayat sebagai objek pengadaan tanah, belum mempunyai dasar hukum yang jelas. Disamping itu, dengan dirampasnya Hak Ulayat mereka yang sekaligus merupakan lebensraum, maka hak untuk melangsungkan kehidupan yang dilindungi sebagai bagian dari hak dasar manusia akan ikut terampas. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat hukum adat sangat menggantungkan kehidupannya dari Hak Ulayatnya. Karena sumber kehidupan dan ikatan batiniah dengan leluhur ada di wilayah tersebut. Sesungguhnya harus diakui bersama, bahwa eksistensi Hak Ulayat dan masyarakat hukum adat, ternyata memberikan dampak positif terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan hidup, kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustanaible development).
            Oleh karena itu, sangat perlu segera dirancang dan disahkan undang-undang yang mengatur tentang perlindungan Hak Ulayat masyarakat hukum adat, yang di dalamnnya juga mengatur bagaimana peran Hak Ulayat terhadap pembangunan nasional. Karena, tidaklah cukup hanya sekedar pengakuan terhadap Hak Ulayat yang selama ini diberikan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Disamping itu, sinkronisasi perundang-undangan tentang pengaturan Hak Ulayat juga sangat penting.
Daftar Pustaka
Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta : Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia.
Boedi Harsono, 2005,  Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan
Moh.Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1995, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama.
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.
Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Rajawali.
Sudjarwo Marsoem, Wahyono Adi dan Pieter G. Manoppo, 2015, Pedoman Lengkap Ganti Untung Pengadaan Tanah Memetakan Solusi Strategis Pengembangan Infrastruktur di Indonesia, Jakarta : Renebook.
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana.
Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan Nasional Teori dan Praktik, Malang : Bayumedia Publishing.
I Nyoman Budiana, Memahami Otonomi Desa Pakraman Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali (Kajian Dari Perspektif Hirarki Perundang-Undangan Indonesia), Jurnal Konstitusi PKK Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Volume I Nomor 1, Juni 2011 Jakarta : Mahkamah Konstitusi.
                           , 26 April 2014, Hak Masyarakat Hukum Adat dan Peran Serta Desa Adat Dalam Perlindungan Masyarakat Adatnya, disampaikan Dalam Seminar Dewan Perwakilan Daerah RI dalam Kajian Hukum Adat Bali di Tengah Modernisasi Pembangunan dan Arus Budaya Global, di Kampus Mahasaraswati Denpasar.
Achmad Sodiki, “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan”, Disampaikan Dalam  Penataran dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum EkonomiYang Diselenggarakan Fakultas Hukum Brawijaya tanggal 29-31 Juli 1996.
Indonesia,        Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
                        ,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
                        ,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
                        ,Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
                        ,Peraturan Menteri Negara  Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012.
Ferry Santoso, Memacu Gerak Gerbong Ekonomi, Kompas, 06 Mei 2015, hlm. 17.


[1] Ferry Santoso, Memacu Gerak Gerbong Ekonomi, Kompas, 06 Mei 2015, hlm. 17.
[2]Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta : Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm. 119.
[3] Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960.
[4] Ketentuan Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[5] Ketentuan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[6] I Nyoman Budiana, 26 April 2014, Hak Masyarakat Hukum Adat dan Peran Serta Desa Adat Dalam Perlindungan Masyarakat Adatnya, (disampaikan Dalam Seminar Dewan Perwakilan Daerah RI dalam Kajian Hukum Adat Bali di Tengah Modernisasi Pembangunan dan Arus Budaya Global, di Kampus Mahasaraswati Denpasar), hlm.2
[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2005), hlm. 185-186.
[8] Ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
[9] Moh.Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1995), hlm. 50.
[10] Ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
[11] Yudhi Setiawan, Hukum Pertanahan Nasional Teori dan Praktik, Cetakan Pertama, (Malang : Bayumedia Publishing, 2010), hlm. 9.
[12] Arie S. Hutagalung, Op.Cit, hlm. 174.
[13] Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf e Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012.
[14] I Nyoman Budiana, Memahami Otonomi Desa Pakraman Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali (Kajian Dari Perspektif Hirarki Perundang-Undangan Indonesia), Jurnal Konstitusi PKK Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Volume I Nomor 1, Juni 2011 (Jakarta : Mahkamah Konstitusi, 2011), hlm. 25-26.
[15] Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, (Yogyakarta, 2004), hlm. 1.
[16] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan ke 6, (Jakarta :Kencana, 2010), hlm. 70.
[17] Achmad Sodiki, “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan”, Disampaikan Dalam  Penataran dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum EkonomiYang Diselenggarakan Fakultas Hukum Brawijaya tanggal 29-31 Juli 1996.
[18] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1983), hlm. 192
[19] Ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012.
[20] Boedi Harsono, Op.Cit, hlm. 18.
[21] Ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 adalah hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 adalah : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak –hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. 
[22] Sudjarwo Marsoem, Wahyono Adi dan Pieter G. Manoppo, Pedoman Lengkap Ganti Untung Pengadaan Tanah Memetakan Solusi Strategis Pengembangan Infrastruktur di Indonesia, Cetakan 1, (Jakarta : Renebook, 2015), hlm. 232.
[23] Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar