Ditulis Oleh :
1. Yoga Ariadnya
2. Ita Utari
3. Diah Indrawati
PERAN PENGADILAN KHUSUS PEMILU
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU
A. PENDAHULUAN
Pemilihan
Umum adalah suatu lembaga yang berperan sebagai sarana penyampaian hak
demokrasi rakyat atau juga merupakan sebuah bentuk implementasi dari kedaulatan
rakyat. JJ. Rousseau dalam bukunya “Le Contract Social” mengatakan bahwa golongan penguasa telah
membuat suatu perjanjian dengan rakyat dengan istilah kontrak sosial. Kontrak
sosial ini menimbulkan hak konstitusional rakyat yaitu hak memilih dan di pilih
dalam pemilu.[1]
Pemilu diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu bentuk ketatanegaraan dalam
kedaulatan rakyat melalui sistem demokrasi Pancasila. Salah satu prinsip
demokrasi Pancasila ini tidak bisa terlepas dari lembaga peradilan.
Lembaga
peradilan khusus yang dikembangkan karena adanya diferensiasi dalam lingkungan
peradilan umum, seperti Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Anak, Pengadilan
Niaga, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan lain-lain.[2]
Terdapat permasalahan yang melatar belakangi adanya kasus yang diluar
kewenangan peradilan umum, mengakibatkan perlu membentuk suatu badan peradilan
khusus yang independent agar dapat
memberikan jaminan yang baik dalam upaya memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat,
sebagaimana tercantum dengan jelas pada Pancasila sila ke-5 yaitu “Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.[3]
Selain badan yang secara tegas disebut sebagai lembaga
peradilan khusus yang menangani perkara Pemilu, ada juga badan pengawas yang
dibentuk contohnya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Mengingat banyaknya kasus yang
terjadi terkait dengan pemilu, baik itu pemilu legislatif, pilpres, maupun pemilukada,
yang memunculkan berbagai argumen bahwa pengawasan pelaksananaan pemilu belum
secara maksimal bekerja dalam ranah peradilan dalam arti luas yang memegang
tugas dan fungsi serta kewenangannya yang bersifat absolut. Sehingga hal ini
rentan terjadi konflik yakni perselisihan hasil pemilu.
Lembaga tinggi Negara berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu adalah Mahkamah
Konstitusi (MK). Tetapi kenyataan yang terjadi di Indonesia Mahkamah Konstitusi
(MK) dirasa tidak efektif dalam mekanisme penanganan perselisihan hasil pemilu
dan perlunya peran Mahkamah Agung (MA) dalam menangani kasus pelanggaran pemilu
baik yang bersifat administratif maupun yang mengandung unsur pidana pemilu.
Kasus pelanggaran yang bersifat admisnistratif dalam
pemilu berupa tata cara, prosedur, dan
mekanisme yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, syarat untuk menjadi
peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tidak melaporkan rekening
awal dana kampanye serta pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.[4]
Kasus pelanggaran mengenai tindak pidana Pemilu berupa sengaja menghilangkan
hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberi hak suara dan merubah
hasil suara.[5]
Meningkatnya kasus
pelanggaran pemilu bersifat admistratif, dapat dilihat dari tahun 2009, dimana
ditemukan hanya 619 pelanggaran admistratif sedangkan pada tahun 2014 dihimpun
dari catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditemukan 3.238 pelanggaran administratif
dan untuk kasus pelanggaran tindak pidana pemilu tahun 2009 hanya 138 pelanggar
tetapi tahun 2014 sebanyak 209 pelanggar.[6]
Peningkatan pelanggaran administratif pemilu dari tahun 2009 sampai pemilu
tahun 2014 adalah 26,19%, sedangkan pelanggaran pidana pemilu dari tahun 2009
sampai pemilu 2014 adalah 0,71%.
B. PEMBAHASAN
1.
Penyelenggaraan Pemilu Secara Demokratis
Melihat
meningkatnya kasus pelanggaran menyangkut sengketa pemilu banyak memunculkan
berbagai pandangan untuk mendesain suatu badan lembaga peradilan yang khusus
pemilu. Dimana dalam melaksanakan pemilu berkaitan dengan rule of law. Menurut Jimlly
Ashidiqie, terdapat dua belas prinsip Negara hukum yang berlaku sekarang. Kedua
belas prinsip ini merupakan pilar-pilar utama berdiri tegaknya satu negara
modern sehingga disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat)
dalam arti yang sesungguhnya. Kedua belas prinsip Negara hukum tersebut adalah[7]:
1. Supremasi Hukum
2. Persamaan dalam Hukum
3. Asas Legalitas
4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-organ penunjang yang Independen
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7. Peradilan Tata Usaha
8. Mahkamah Konstitusi
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokratis
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara
12. Transparasi dan Kontrol Sosial
Salah
satu prinsip terpenting pada Negara Hukum, harus memiliki prinsip yang bersifat
demokratis. Prinsip bersifat demikratis terdapat dalam pemilu sebagai sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.[8]
Demokrasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu demokrasi dalam arti material dan
demokrasi dalam arti formal. Demokrasi dalam arti material adalah demokrasi
yang diwarnai oleh ideologi yang dianut suatu bangsa atau negara. Demokrasi
dalam arti formal adalah demokrasi yang memberikan kekuatan hukum yang sama
dalam bidang politik tanpa adanya pertimbangan perbedaan ekonomi. Perbedaan ideologi
yang dianut oleh masing-masing negara menunjukan adanya perbedaan yang mendasar
pada jenis demokrasi yang digunakan. Oleh karena itu, adanya Demokrai
Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Liberal, Demokrasi Sosial, Demokrasi
Rakyat dan Demokrasi Sentralisme.[9]
Pengertian
Demokrasi Pancasila pertama kali dijabarkan dalam Seminar Angkatan Darat II
pada bulan Agustus 1966, yakni: Demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti menegakan kembali azas-azas negara-negara
hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, di mana hak
asasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun aspek perseorangan dijamin, dan
di mana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secara institutional.[10]
Fakta
dari kasus pelanggaran administratif maupun pidana dari Pemilu tersebut sering
menimbulkan sengketa dan akhirnya menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Prinsip
Negara Hukum adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam konteks
memeriksa, mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara pemilu berdasarkan ketentuan
Pasal 270 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, membentuk majelis khusus yang terdiri atas hakim
khusus yang berasal dari hakim karier di lingkungan PTUN. Berdasarkan ketentuan
Pasal 24C UUD 1945 yang berwenang untuk memutus perselisihan tentang hasil
pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional yang
dapat mempengaruhi kursi peserta pemilu adalah Mahkamah Konstitusi (MK).
2.
Urgensi Peradilan Khusus Pemilu
Menyimak
adanya fakta yang timbul dalam peningkatan kasus pelanggaran pemilu baik yang
bersifat unsur administratif maupun unsur pidana wacana untuk mengadakan
peradilan khusus pemilu memang patut untuk dilaksanakan guna meminimalisir
kasus pelanggaran pemilu. Perlunya akan peradilan khusus pemilu merupakan suatu
cita hukum (ius constituendum) guna
memproteksi hak konstitusional warga negara dan peserta pemilihan tesebut.
Peradilan khusus pemilu serta memberikan suatu ruang hukum baik kepada pihak
yang dirugikan dan mendapatkan kepastian hukum dalam kehidupan Negara
demokrasi. Gagasan yang munculnya peradilan khusus pemilu merupakan solusi
untuk mewujudkan satu komponen terpenting dalam asas penyelenggaraan pemilu
diantaranya adalah “kepastian hukum” yang terdapat pada Pasal 2 huruf d
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Kepastian hukum dalam konteks antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu,
serta peserta pemilu dapat menerima proses tahapan, program dan jadwal
terselenggaranya pemilu secara baik.
Apabila
terdapat pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan pemilu dapat mengajukan
permasalahan tersebut ke Pengadilan Khusus Pemilu agar terwujudnya kepastian
hukum tersebut. Sehingga dengan adanya Pengadilan Khusus Pemilu maka
permasalahan tindak pidana pemilu maupun administratif sekarang ini yang tidak
terselesaikan dengan baik tidak bertumpuk pada Mahkamah Konstitusi, karena
Mahkamah Konstitusi seringkali menyidangkan persoalan tahapan dengan alasan
menegakan keadilan substantif. Keadilan substantif dalam buku Black’s Law Dictionary 7th
Edition merupakan suatu keadilan yang diberikan sesuai aturan hukum
substantif, dengan tidak melihat kesalahan dari prosedur yang tidak berpengaruh
pada hak substantif.[11]
Pasal 24C UUD 1945, merupakan aturan substantif tanpa melihat kesalahan prosedur
penyelenggara pemilu (pelanggaran dalam tahapan yang biasanya menurut Mahkamah
Konstitusi dianggap mempengaruhi hasil), maka hal tersebut bukanlah merupakan keadilan
substantif.[12]
Peranan
yang lain dari peradilan khusus pemilu terlihat pada saat terjadinya pelemahan
hukum pelanggaran pidana Pemilu dan adanya ketimpangan dalam peraturan perundang-undangan
antara yang satu dengan yang lain, serta dapat menjadi sebab permasalahan
tersebut tidak terselesaikan karena yang diketahui selama ini pengawas pemilu
kurang berperan efektif. Pengawas pemilu hanya diberikan kewenangan sebagai
lembaga pengirim permasalahan pemilu kepada aparat penegak hukum apabila ada
permasalahan yang berkaitan dengan pidana maupun administratif. Wewenang dari
pengawas pemilu pun hanya sebatas merekomendasi dan tidak dapat mengeksekusi
ataupun memaksa agar perkara ditindaklanjuti baik tindak pidana pemilu ataupun
administratif.[13]
Contoh,
permasalahan pada pelanggaran administrasi pemilu dimana KPU melakukan
penetapan Daftar Calon Tetap sesuai dengan Tahapan Pemilu Legislatif mendapatkan protes karena KPU Kabupaten tersebut
meloloskan salah satu Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang menggunakan ijazah
palsu. Kemudian KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi dari panwaslu, dan
akhirnya pihak yang dirugikan melapor ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
tetapi ketika putusan PTUN keluar tahapan pelaksanaan pemilu sudah selesai atau
dengan kata lain putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh KPU karena pada
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, tidak
terdapat pengaturan yang mewajibkan KPU untuk melaksanakan putusan PTUN. Sehingga
ini menjadi suatu permasalahan yang harus diselesaikan peradilan khusus pemilu
agar tercapai kepastian hukum.
Mewujudkan
peradilan khusus pemilu bukan hal yang tidak mungkin karena pada Pasal 266
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
mengatur mengenai Majelis Khusus Tindak Pidana Pemilu sebagai berikut :
(1) Majelis khusus yang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tindak pidana Pemilu terdiri dari hakim khusus yang merupakan hakim
karier pada Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) yang ditetapkan
secara khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
Pemilu;
(2) Hakim khusus ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia;
(3) Hakim khusus harus memenuhi syarat yang telah
melaksanakan tugas sebagai hakim minimal 3 (tiga) tahun, kecuali dalam suatu
pengadilan tidak terdapat hakim yang masa kerjanya telah mencapai 3 (tiga)
tahun;
(4) Hakim khusus selama memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tindak pidana Pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara lain;
(5) Hakim khusus harus menguasai pengetahuan tentang
Pemilu;
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus dengan
Peraturan Mahkamah Agung.
Terdapatnya Peradilan Khusus Pemilu dalam proses
demokrasi dapat membuat kasus sengketa pemilu bisa selesai sebelum dibawa ke
Mahkamah Konstitusi. Karena dalam permasalahan
pemilukada dapat dilihat yang memiliki ijazah palsu dapat lolos dalam
tahap administratif. Bilamana negara memiliki peradilan khusus pemilu
kemungkinan persoalan tersebut tidak akan terjadi, persoalan ini akan terulang
jika negara masih mengandalkan lembaga peradilan pemilu yang ada saat ini
karena terdapat tumpang tindih aturan.
Sinergis yang dihasilkan dari adanya peradilan khusus
pemilu dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa pemilu, sehingga dapat
terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum diantara pihak yang
bersengketa. Dengan cepatnya proses penyelesaian sengketa pemilu melalui
peradilan khusus pemilu, akan memberikan dampak pada meningkatnya kepercayaan
dari masyarakat dalam menangani masalah sengketa pemilu baik itu dalam hal
administratif maupun tindak pidana pemilu dimasa yang akan datang.
3.
Kontraproduktif Peradilan Khusus Pemilu
Adanya wacana dalam pembentukan peradilan khusus
pemilu dapat menimbulkan beberapa pernyataan
tidak setuju dari beberapa pengamat politik ataupun masyarakat, karena
pembentukan peradilan khusus pemilu hanya menimbulkan ketidakpastian dan
inkosistensi atas penyelesaian sengketa pemilu pada satu lembaga peradilan. Sehingga
menimbulkan pelanggaran pemilu baik administratif maupun pidana pemilu
meningkat dari 2009 ke 2014.
Jika mengacu pada Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), pengadilan
khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada
dibawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009,[14]
karena peradilan khusus yang dikembangkan karena adanya diferensiasi dalam
lingkungan peradilan umum, seperti Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM),
Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
dan lain-lain.[15]
Pemerintah sudah mempersiapkan perangkat hukum untuk
pelaksanaan Pemilu, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 ini ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa dan
pelanggaran pemilu diatur lebih jelas dan melibatkan tiga lembaga peradilan
untuk menyelesaikan sengketa pemilu, yaitu Pengadilan Umum melalui Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa
PN memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa perkara pidana dan perdata terkait pemilu di tingkat
pertama dalam waktu 7 hari setelah pelimpahan berkas perkara. Sidang
pemeriksaan perkara tindak pidana pemilu dilakukan oleh Majelis Khusus yang
terdiri atas hakim khusus yang merupakan hakim karir pada PN.
Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sengketa
penetapan calon dari KPU dan PTUN secara prioritas dapat mempercepat kasus
sengketa pemilu. Karena PTUN berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Republik Indonesia No. 7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Mengenai
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) masih berlaku untuk memeriksa dan mempertimbangkan
tentang calon yang ditetapkan dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).
MK merupakan salah satu
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan
memiliki kewenangan menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilu.[16] MK memiliki peran penting
dalam penyelesaian sengketa hasil pemilukada. MK mampu memfasilitasi konflik politik
yang merupakan hasil pemilukada dengan membawanya dari konflik yang terjadi, yang
bisa memicu konflik horizontal antar pendukung ke gedung MK. Pada tingkat tertentu,
MK telah memiliki prestasi dalam mendorong pelaksanaan pemilukada yang
demokratis..[17]
Diberlakukannya peradilan khusus pemilu akan
menyebabkan adanya tumpah tindih kewenangan baik itu kewenangan yang dimiliki
oleh MK, PTUN dan PN. MK memiliki kewenangan untuk memutus sengketa hasil
pemilu. PTUN memiliki kewenangan dalam memutus sengketa penetapan calon yang
mendaftar pada KPU. Sedangkan PN memiliki kewenangan dalam menindaklanjuti
kasus pidana. Peradilan khusus pemilu hanya membuat ketidakpastian
menidaklanjuti kasus sengketa pemilu serta penanganannya belum terdapat penentuan
akan jenis tindak pemilu apa yang dapat diselesaikan. Peradilan khusus pemilu
hanya membuat pemborosan anggaran, yang kemudian akan menimbulkan modus korupsi
baru. Adanya MK, PTUN, dan PN sudah cukup baik dalam menangani masalah yang
mebelit tentang sengketa pemilu, jadi tidak diperlukan lagi peradilan khusus
pemilu. Penyelesaian sengketa pemilu akan lebih efektif jika peran Bawaslu yang
ditingkatkan mengingat Bawaslu memiliki kewenangan melakukan
pengawasan, penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam
konteks pemilu legislatif.
C.
PENUTUP
Kesimpulan dan Gagasan
Peradilan khusus pemilu merupakan sebuah ius constituendum yang bertujuan dalam memproteksi hak
konstitusional warga Negara beserta peserta pemilihan. Dimana peradilan khusus
ini memberikan ruang hukum kepada pihak
yang dirugikan dalam kehidupan berdemokrasi. Adanya peradilan khusus pemilu,
akan memberikan kemudahan dalam menangani kasus tahapan pemilu lebih efisien
dan mudah dalam bersidang karena tidak perlu ke ibukota Jakarta untuk sengketa
hasil di Mahkamah konstitusi. Serta mewujudkan dari kepastian hukum (rule of law) yakni prinsip dari
Supremasi Hukum yang terdapat dalam 12 prinsip pokok sebagai pilar utama
berdirinya suatu Negara hukum (The Rule
of Law atau Rechtsstaat). Adanya
peradilan khusus pemilu dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa pemilu,
sehingga dapat terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum
diantara pihak yang bersengketa. Dengan cepatnya proses penyelesaian sengketa
pemilu melalui peradilan khusus pemilu, akan memberikan dampak pada
meningkatnya kepercayaan dari masyarakat dalam menangani masalah sengketa
pemilu baik itu dalam hal administratif maupun tindak pidana pemilu dimasa yang
akan datang.
Sengketa menyelesaikan kasus pemilu dalam peradilan
khusus pemilu dirasa tidak efektif karena akan menimbulkan kewenangan yang sama
dengan PTUN dan sudah tertera pada prinsip Negara Hukum. Pasal 22E ayat (2) UUD
1945 juga memperjelas bahwa belum ada kejelasan sengketa pemilu apa saja yang
bisa diselesaikan dengan peradilan khusus pemilu. Secara pokok peradilan khusus
pemilu belum jelas dilandasi sistem ketatanegaraan dalam UUD 1945 dalam
menangani penetuan jenis pemilu serta kewenangannya. Diberlakukannya peradilan
khusus pemilu akan menyebabkan adanya tumpah tindih kewenangan baik itu
kewenangan yang dimiliki oleh MK, PTUN dan PN. MK memiliki kewenangan untuk
memutus sengketa hasil pemilu. PTUN memiliki kewenangan dalam memutus sengketa
penetapan calon yang mendaftar pada KPU. Sedangkan PN memiliki kewenangan dalam
menindaklanjuti kasus pidana. Peradilan khusus pemilu hanya membuat ketidakpastian
menidaklanjuti kasus sengketa pemilu serta penanganannya belum terdapat
penetuan akan jenis tindak pemilu apa yang dapat diselesaikan. Peradilan khusus
pemilu hanya membuat pemborosan anggaran, yang kemudian akan menimbulkan modus
korupsi baru. Penyelesaian sengketa pemilu akan lebih efektif jika peran
Bawaslu yang ditingkatkan mengingat Bawaslu memiliki kewenangan melakukan
pengawasan, penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam
konteks pemilu legislatif.
Daftar Pustaka
Bryan A.
Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Edisi
Ketujuh, Amerika: West Group.
Denny Indrayana ,2007, Indonesia dibawah Soeharto: Order Otoriter Baru. Amandemen UUD
1945: antara Mitos dan Pembongkaran. Jakarta: Mizan Pustaka.
Iwan Satriawan et.al, 2012, Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.
Jean-Jacques, 1762, Rousseau, Du Contract Social ou Principes du Droit Politique, Paris:Marc.
Michel Rev.
Jimly Asshiddiqe, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:Rajawali Pers
Jimly Asshddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi
Press.
Miriam Budiardjo, 1990, Dasar-dasar Ilmu Politik. Cet:2 Jakarta: Gramedia.
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
,Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
,Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Suara Merdeka, 9 September
2014 “Bawaslu Terganjal Kewenangan”, http://berita.suaramerdeka.com/bawaslu-terganjal-kewenangan/, diakses pada 28 April
2015
[1] Jean-Jacques,
Rousseau, Du Contract Social ou Principes
du Droit Politique, (Paris:Marc. Michel Rev,1762), Pg. 5.
[2] Lihat
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum “di
lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan
undang-undang”
[4] Lihat
Ketentuan Pasal 253 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah “pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi
tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi
pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar tindak
pidana Pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggaraan Pemilu”.
[5] Lihat
Ketentuan Pasal 260 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah “tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau
kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini” .
[6] Suara
Merdeka, 9 September 2014 “Bawaslu Terganjal Kewenangan”, http://berita.suaramerdeka.com/
bawaslu-terganjal-kewenangan/, diakses pada 28 April 2015.
[7] Jimly
Asshddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, (Jakarta: Konstitusi press, Oktober 2006), hlm. 154.
[8] Lihat
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum “pemilihan umum, selanjutnya disingkat Pemilu
adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Republik Indonesia Tahun 1945”.
[9] Sri
Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai
Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), hlm 9-10. Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tanpa
oposisi (Indrayana Denny, Indonesia
dibawah Soeharto: Order Otoriter Baru. Amandemen UUD 1945: antara Mitos dan
Pembongkaran. Mizan Pustaka,2007. hlm.141). Demokrasi Terpimpin juga disebut
demokrasi terkelola (Rohmann of Important Ideas and Thinkers, Ballantine Books)
yang dimana untuk sebuah pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi.
Demokrasi Liberal adalah sistem politik yang menganut kebebasan individu secara
konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah (Blackwell Dictionary of Modern Social Thought, Blackwell Publishing
2003. Pg. 148). Demokrasi Sosial adalah sebuah paham politik yang sering
disebut sebagai moderat yang muncul pada akhir abad ke-19 berasal dari gerakan
sosialisme (Berman, Sheri. “Understanding
Social Democracy”. 2007-08-11). Demokrasi Rakyat menurut Georgi Dimitrov
merupakan Negara dalam masa transisi yang berugas untuk menjamin perkembangan
negara kearah sosialisme. Demokrasi Sentralisme adalah dasar pemikiran dari
ideology sebuah Partai Komunis harus merupakan satu kesatuan politik dan
kesatuan organisasi.
[12] Keadilan
substantif adalah keadilan yang diciptakan oleh hakim dalam putusan-putusannya
berdasar hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam masyarakat, tanpa
dibelenggu bunyi pasal undang-undang yang berlaku (Moh Mahmud MD, Koran sindo
30 Agustus 2014).
[13] Lihat Ketentuan Pasal 8 huruf n Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Pemilihan Umum “menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu atas
temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilu”.
[14] Lihat
Ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman “Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara”.
[15] Lihat
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum “di
lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan
undang-undang”.
[16] Lihat
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) huruf D Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[17] Iwan
Satriawan et.al, Studi Efektifitas
Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: 2012),
hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar