Laman

Kamis, 16 Februari 2017

PERAN PENGADILAN KHUSUS PEMILU DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU

Ditulis Oleh :
1. Yoga Ariadnya
2. Ita Utari
3. Diah Indrawati

PERAN PENGADILAN KHUSUS PEMILU
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


A.    PENDAHULUAN
Pemilihan Umum adalah suatu lembaga yang berperan sebagai sarana penyampaian hak demokrasi rakyat atau juga merupakan sebuah bentuk implementasi dari kedaulatan rakyat. JJ. Rousseau dalam bukunya “Le Contract Social” mengatakan bahwa golongan penguasa telah membuat suatu perjanjian dengan rakyat dengan istilah kontrak sosial. Kontrak sosial ini menimbulkan hak konstitusional rakyat yaitu hak memilih dan di pilih dalam pemilu.[1] Pemilu diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu bentuk ketatanegaraan dalam kedaulatan rakyat melalui sistem demokrasi Pancasila. Salah satu prinsip demokrasi Pancasila ini tidak bisa terlepas dari lembaga peradilan.
Lembaga peradilan khusus yang dikembangkan karena adanya diferensiasi dalam lingkungan peradilan umum, seperti Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan lain-lain.[2] Terdapat permasalahan yang melatar belakangi adanya kasus yang diluar kewenangan peradilan umum, mengakibatkan perlu membentuk suatu badan peradilan khusus yang independent agar dapat memberikan jaminan yang baik dalam upaya memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, sebagaimana tercantum dengan jelas pada Pancasila sila ke-5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.[3]
Selain badan yang secara tegas disebut sebagai lembaga peradilan khusus yang menangani perkara Pemilu, ada juga badan pengawas yang dibentuk contohnya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Mengingat banyaknya kasus yang terjadi terkait dengan pemilu, baik itu pemilu legislatif, pilpres, maupun pemilukada, yang memunculkan berbagai argumen bahwa pengawasan pelaksananaan pemilu belum secara maksimal bekerja dalam ranah peradilan dalam arti luas yang memegang tugas dan fungsi serta kewenangannya yang bersifat absolut. Sehingga hal ini rentan terjadi konflik yakni perselisihan hasil pemilu.
Lembaga tinggi Negara berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi kenyataan yang terjadi di Indonesia Mahkamah Konstitusi (MK) dirasa tidak efektif dalam mekanisme penanganan perselisihan hasil pemilu dan perlunya peran Mahkamah Agung (MA) dalam menangani kasus pelanggaran pemilu baik yang bersifat administratif maupun yang mengandung unsur pidana pemilu.
Kasus pelanggaran yang bersifat admisnistratif dalam pemilu  berupa tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye serta pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.[4] Kasus pelanggaran mengenai tindak pidana Pemilu berupa sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberi hak suara dan merubah hasil suara.[5]
 Meningkatnya kasus pelanggaran pemilu bersifat admistratif, dapat dilihat dari tahun 2009, dimana ditemukan hanya 619 pelanggaran admistratif sedangkan pada tahun 2014 dihimpun dari catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditemukan 3.238 pelanggaran administratif dan untuk kasus pelanggaran tindak pidana pemilu tahun 2009 hanya 138 pelanggar tetapi tahun 2014 sebanyak 209 pelanggar.[6] Peningkatan pelanggaran administratif pemilu dari tahun 2009 sampai pemilu tahun 2014 adalah 26,19%, sedangkan pelanggaran pidana pemilu dari tahun 2009 sampai pemilu 2014 adalah 0,71%.




B.    PEMBAHASAN
1.     Penyelenggaraan Pemilu Secara Demokratis
Melihat meningkatnya kasus pelanggaran menyangkut sengketa pemilu banyak memunculkan berbagai pandangan untuk mendesain suatu badan lembaga peradilan yang khusus pemilu. Dimana dalam melaksanakan pemilu berkaitan dengan  rule of law. Menurut Jimlly Ashidiqie, terdapat dua belas prinsip Negara hukum yang berlaku sekarang. Kedua belas prinsip ini merupakan pilar-pilar utama berdiri tegaknya satu negara modern sehingga disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sesungguhnya. Kedua belas prinsip Negara hukum tersebut adalah[7]:
1.     Supremasi Hukum
2.     Persamaan dalam Hukum
3.     Asas Legalitas
4.     Pembatasan Kekuasaan
5.     Organ-organ penunjang yang Independen
6.     Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7.     Peradilan Tata Usaha
8.     Mahkamah Konstitusi
9.     Perlindungan Hak Asasi Manusia
10.  Bersifat Demokratis
11.  Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara
12.  Transparasi dan Kontrol Sosial
Salah satu prinsip terpenting pada Negara Hukum, harus memiliki prinsip yang bersifat demokratis. Prinsip bersifat demikratis terdapat dalam pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.[8] Demokrasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu demokrasi dalam arti material dan demokrasi dalam arti formal. Demokrasi dalam arti material adalah demokrasi yang diwarnai oleh ideologi yang dianut suatu bangsa atau negara. Demokrasi dalam arti formal adalah demokrasi yang memberikan kekuatan hukum yang sama dalam bidang politik tanpa adanya pertimbangan perbedaan ekonomi. Perbedaan ideologi yang dianut oleh masing-masing negara menunjukan adanya perbedaan yang mendasar pada jenis demokrasi yang digunakan. Oleh karena itu, adanya Demokrai Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Liberal, Demokrasi Sosial, Demokrasi Rakyat dan Demokrasi Sentralisme.[9]  
Pengertian Demokrasi Pancasila pertama kali dijabarkan dalam Seminar Angkatan Darat II pada bulan Agustus 1966, yakni: Demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti menegakan kembali azas-azas negara-negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, di mana hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun aspek perseorangan dijamin, dan di mana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secara institutional.[10]
Fakta dari kasus pelanggaran administratif maupun pidana dari Pemilu tersebut sering menimbulkan sengketa dan akhirnya menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Prinsip Negara Hukum adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam konteks memeriksa, mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara pemilu berdasarkan ketentuan Pasal 270 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, membentuk majelis khusus yang terdiri atas hakim khusus yang berasal dari hakim karier di lingkungan PTUN. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 yang berwenang untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional yang dapat mempengaruhi kursi peserta pemilu adalah Mahkamah Konstitusi (MK).



2.     Urgensi Peradilan Khusus Pemilu
Menyimak adanya fakta yang timbul dalam peningkatan kasus pelanggaran pemilu baik yang bersifat unsur administratif maupun unsur pidana wacana untuk mengadakan peradilan khusus pemilu memang patut untuk dilaksanakan guna meminimalisir kasus pelanggaran pemilu. Perlunya akan peradilan khusus pemilu merupakan suatu cita hukum (ius constituendum) guna memproteksi hak konstitusional warga negara dan peserta pemilihan tesebut. Peradilan khusus pemilu serta memberikan suatu ruang hukum baik kepada pihak yang dirugikan dan mendapatkan kepastian hukum dalam kehidupan Negara demokrasi. Gagasan yang munculnya peradilan khusus pemilu merupakan solusi untuk mewujudkan satu komponen terpenting dalam asas penyelenggaraan pemilu diantaranya adalah “kepastian hukum” yang terdapat pada Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Kepastian hukum dalam konteks antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, serta peserta pemilu dapat menerima proses tahapan, program dan jadwal terselenggaranya pemilu secara baik.
Apabila terdapat pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan pemilu dapat mengajukan permasalahan tersebut ke Pengadilan Khusus Pemilu agar terwujudnya kepastian hukum tersebut. Sehingga dengan adanya Pengadilan Khusus Pemilu maka permasalahan tindak pidana pemilu maupun administratif sekarang ini yang tidak terselesaikan dengan baik tidak bertumpuk pada Mahkamah Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi seringkali menyidangkan persoalan tahapan dengan alasan menegakan keadilan substantif. Keadilan substantif dalam buku Black’s Law Dictionary 7th Edition merupakan suatu keadilan yang diberikan sesuai aturan hukum substantif, dengan tidak melihat kesalahan dari prosedur yang tidak berpengaruh pada hak substantif.[11] Pasal 24C UUD 1945, merupakan aturan substantif tanpa melihat kesalahan prosedur penyelenggara pemilu (pelanggaran dalam tahapan yang biasanya menurut Mahkamah Konstitusi dianggap mempengaruhi hasil), maka hal tersebut bukanlah merupakan keadilan substantif.[12]
Peranan yang lain dari peradilan khusus pemilu terlihat pada saat terjadinya pelemahan hukum pelanggaran pidana Pemilu dan adanya ketimpangan dalam peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang lain, serta dapat menjadi sebab permasalahan tersebut tidak terselesaikan karena yang diketahui selama ini pengawas pemilu kurang berperan efektif. Pengawas pemilu hanya diberikan kewenangan sebagai lembaga pengirim permasalahan pemilu kepada aparat penegak hukum apabila ada permasalahan yang berkaitan dengan pidana maupun administratif. Wewenang dari pengawas pemilu pun hanya sebatas merekomendasi dan tidak dapat mengeksekusi ataupun memaksa agar perkara ditindaklanjuti baik tindak pidana pemilu ataupun administratif.[13]
Contoh, permasalahan pada pelanggaran administrasi pemilu dimana KPU melakukan penetapan Daftar Calon Tetap sesuai dengan Tahapan Pemilu Legislatif  mendapatkan protes karena KPU Kabupaten tersebut meloloskan salah satu Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang menggunakan ijazah palsu. Kemudian KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi dari panwaslu, dan akhirnya pihak yang dirugikan melapor ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tetapi ketika putusan PTUN keluar tahapan pelaksanaan pemilu sudah selesai atau dengan kata lain putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh KPU karena pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, tidak terdapat pengaturan yang mewajibkan KPU untuk melaksanakan putusan PTUN. Sehingga ini menjadi suatu permasalahan yang harus diselesaikan peradilan khusus pemilu agar tercapai kepastian hukum.
Mewujudkan peradilan khusus pemilu bukan hal yang tidak mungkin karena pada Pasal 266 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mengatur mengenai Majelis Khusus Tindak Pidana Pemilu sebagai berikut :
(1)  Majelis khusus yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu terdiri dari hakim khusus yang merupakan hakim karier pada Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) yang ditetapkan secara khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu;
(2)  Hakim khusus ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;
(3)  Hakim khusus harus memenuhi syarat yang telah melaksanakan tugas sebagai hakim minimal 3 (tiga) tahun, kecuali dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa kerjanya telah mencapai 3 (tiga) tahun;
(4)  Hakim khusus selama memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain;
(5)  Hakim khusus harus menguasai pengetahuan tentang Pemilu;
(6)  Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus dengan Peraturan Mahkamah Agung.
Terdapatnya Peradilan Khusus Pemilu dalam proses demokrasi dapat membuat kasus sengketa pemilu bisa selesai sebelum dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Karena dalam permasalahan  pemilukada dapat dilihat yang memiliki ijazah palsu dapat lolos dalam tahap administratif. Bilamana negara memiliki peradilan khusus pemilu kemungkinan persoalan tersebut tidak akan terjadi, persoalan ini akan terulang jika negara masih mengandalkan lembaga peradilan pemilu yang ada saat ini karena terdapat tumpang tindih aturan.
Sinergis yang dihasilkan dari adanya peradilan khusus pemilu dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa pemilu, sehingga dapat terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum diantara pihak yang bersengketa. Dengan cepatnya proses penyelesaian sengketa pemilu melalui peradilan khusus pemilu, akan memberikan dampak pada meningkatnya kepercayaan dari masyarakat dalam menangani masalah sengketa pemilu baik itu dalam hal administratif maupun tindak pidana pemilu dimasa yang akan datang.
3.     Kontraproduktif Peradilan Khusus Pemilu
Adanya wacana dalam pembentukan peradilan khusus pemilu dapat  menimbulkan beberapa pernyataan tidak setuju dari beberapa pengamat politik ataupun masyarakat, karena pembentukan peradilan khusus pemilu hanya menimbulkan ketidakpastian dan inkosistensi atas penyelesaian sengketa pemilu pada satu lembaga peradilan. Sehingga menimbulkan pelanggaran pemilu baik administratif maupun pidana pemilu meningkat dari 2009 ke 2014.
Jika mengacu pada Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,[14] karena peradilan khusus yang dikembangkan karena adanya diferensiasi dalam lingkungan peradilan umum, seperti Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan lain-lain.[15]
Pemerintah sudah mempersiapkan perangkat hukum untuk pelaksanaan Pemilu, melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 ini ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu diatur lebih jelas dan melibatkan tiga lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketa pemilu, yaitu Pengadilan Umum  melalui Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa PN memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa perkara pidana dan perdata terkait pemilu di tingkat pertama dalam waktu 7 hari setelah pelimpahan berkas perkara. Sidang pemeriksaan perkara tindak pidana pemilu dilakukan oleh Majelis Khusus yang terdiri atas hakim khusus yang merupakan hakim karir pada PN.
Kewenangan  Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sengketa penetapan calon dari KPU dan PTUN secara prioritas dapat mempercepat kasus sengketa pemilu. Karena PTUN berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia No. 7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) masih berlaku untuk memeriksa dan mempertimbangkan tentang calon yang ditetapkan dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).
MK merupakan salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memiliki kewenangan menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilu.[16] MK memiliki peran penting dalam penyelesaian sengketa hasil pemilukada. MK mampu memfasilitasi konflik politik yang merupakan hasil pemilukada dengan membawanya dari konflik yang terjadi, yang bisa memicu konflik horizontal antar pendukung ke gedung MK. Pada tingkat tertentu, MK telah memiliki prestasi dalam mendorong pelaksanaan pemilukada yang demokratis..[17]
Diberlakukannya peradilan khusus pemilu akan menyebabkan adanya tumpah tindih kewenangan baik itu kewenangan yang dimiliki oleh MK, PTUN dan PN. MK memiliki kewenangan untuk memutus sengketa hasil pemilu. PTUN memiliki kewenangan dalam memutus sengketa penetapan calon yang mendaftar pada KPU. Sedangkan PN memiliki kewenangan dalam menindaklanjuti kasus pidana. Peradilan khusus pemilu hanya membuat ketidakpastian menidaklanjuti kasus sengketa pemilu serta penanganannya belum terdapat penentuan akan jenis tindak pemilu apa yang dapat diselesaikan. Peradilan khusus pemilu hanya membuat pemborosan anggaran, yang kemudian akan menimbulkan modus korupsi baru. Adanya MK, PTUN, dan PN sudah cukup baik dalam menangani masalah yang mebelit tentang sengketa pemilu, jadi tidak diperlukan lagi peradilan khusus pemilu. Penyelesaian sengketa pemilu akan lebih efektif jika peran Bawaslu yang ditingkatkan mengingat Bawaslu memiliki kewenangan melakukan pengawasan, penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu legislatif.
C.    PENUTUP
Kesimpulan dan Gagasan
Peradilan khusus pemilu merupakan sebuah ius constituendum  yang bertujuan dalam memproteksi hak konstitusional warga Negara beserta peserta pemilihan. Dimana peradilan khusus ini memberikan ruang hukum  kepada pihak yang dirugikan dalam kehidupan berdemokrasi. Adanya peradilan khusus pemilu, akan memberikan kemudahan dalam menangani kasus tahapan pemilu lebih efisien dan mudah dalam bersidang karena tidak perlu ke ibukota Jakarta untuk sengketa hasil di Mahkamah konstitusi. Serta mewujudkan dari kepastian hukum (rule of law) yakni prinsip dari Supremasi Hukum yang terdapat dalam 12 prinsip pokok sebagai pilar utama berdirinya suatu Negara hukum (The Rule of Law atau Rechtsstaat). Adanya peradilan khusus pemilu dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa pemilu, sehingga dapat terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum diantara pihak yang bersengketa. Dengan cepatnya proses penyelesaian sengketa pemilu melalui peradilan khusus pemilu, akan memberikan dampak pada meningkatnya kepercayaan dari masyarakat dalam menangani masalah sengketa pemilu baik itu dalam hal administratif maupun tindak pidana pemilu dimasa yang akan datang.
Sengketa menyelesaikan kasus pemilu dalam peradilan khusus pemilu dirasa tidak efektif karena akan menimbulkan kewenangan yang sama dengan PTUN dan sudah tertera pada prinsip Negara Hukum. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 juga memperjelas bahwa belum ada kejelasan sengketa pemilu apa saja yang bisa diselesaikan dengan peradilan khusus pemilu. Secara pokok peradilan khusus pemilu belum jelas dilandasi sistem ketatanegaraan dalam UUD 1945 dalam menangani penetuan jenis pemilu serta kewenangannya. Diberlakukannya peradilan khusus pemilu akan menyebabkan adanya tumpah tindih kewenangan baik itu kewenangan yang dimiliki oleh MK, PTUN dan PN. MK memiliki kewenangan untuk memutus sengketa hasil pemilu. PTUN memiliki kewenangan dalam memutus sengketa penetapan calon yang mendaftar pada KPU. Sedangkan PN memiliki kewenangan dalam menindaklanjuti kasus pidana. Peradilan khusus pemilu hanya membuat ketidakpastian menidaklanjuti kasus sengketa pemilu serta penanganannya belum terdapat penetuan akan jenis tindak pemilu apa yang dapat diselesaikan. Peradilan khusus pemilu hanya membuat pemborosan anggaran, yang kemudian akan menimbulkan modus korupsi baru. Penyelesaian sengketa pemilu akan lebih efektif jika peran Bawaslu yang ditingkatkan mengingat Bawaslu memiliki kewenangan melakukan pengawasan, penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu legislatif.














Daftar Pustaka

Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Amerika: West Group.
Denny Indrayana ,2007, Indonesia dibawah Soeharto: Order Otoriter Baru. Amandemen UUD 1945: antara Mitos dan Pembongkaran. Jakarta: Mizan Pustaka.
Iwan Satriawan et.al, 2012, Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Jean-Jacques, 1762, Rousseau, Du Contract Social ou Principes du Droit Politique, Paris:Marc. Michel Rev.
Jimly Asshiddiqe, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:Rajawali Pers
Jimly Asshddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.
Miriam Budiardjo, 1990, Dasar-dasar Ilmu Politik. Cet:2 Jakarta: Gramedia.
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
                 ,Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
                 ,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
                 ,Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
                 ,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
                 ,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Suara Merdeka, 9 September 2014 “Bawaslu Terganjal Kewenangan”, http://berita.suaramerdeka.com/bawaslu-terganjal-kewenangan/, diakses pada 28 April 2015


[1] Jean-Jacques, Rousseau, Du Contract Social ou Principes du Droit Politique, (Paris:Marc. Michel Rev,1762), Pg. 5.
[2] Lihat Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum “di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang”
[3] Jimly Asshiddiqe, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta:Rajawali Pers,2011), hlm. 56.
[4] Lihat Ketentuan Pasal 253 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah “pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar tindak pidana Pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggaraan Pemilu”.
[5] Lihat Ketentuan Pasal 260 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah “tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini” .
[6] Suara Merdeka, 9 September 2014 “Bawaslu Terganjal Kewenangan”, http://berita.suaramerdeka.com/ bawaslu-terganjal-kewenangan/, diakses pada 28 April 2015.
[7] Jimly Asshddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi press, Oktober 2006), hlm. 154.
[8] Lihat Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum “pemilihan umum, selanjutnya disingkat Pemilu adalah sarana pelaksana kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945”.
[9] Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), hlm 9-10. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tanpa oposisi (Indrayana Denny, Indonesia dibawah Soeharto: Order Otoriter Baru. Amandemen UUD 1945: antara Mitos dan Pembongkaran. Mizan Pustaka,2007. hlm.141). Demokrasi Terpimpin juga disebut demokrasi terkelola (Rohmann of Important Ideas and Thinkers, Ballantine Books) yang dimana untuk sebuah pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi. Demokrasi Liberal adalah sistem politik yang menganut kebebasan individu secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah (Blackwell Dictionary of Modern Social Thought, Blackwell Publishing 2003. Pg. 148). Demokrasi Sosial adalah sebuah paham politik yang sering disebut sebagai moderat yang muncul pada akhir abad ke-19 berasal dari gerakan sosialisme (Berman, Sheri. “Understanding Social Democracy”. 2007-08-11). Demokrasi Rakyat menurut Georgi Dimitrov merupakan Negara dalam masa transisi yang berugas untuk menjamin perkembangan negara kearah sosialisme. Demokrasi Sentralisme adalah dasar pemikiran dari ideology sebuah Partai Komunis harus merupakan satu kesatuan politik dan kesatuan organisasi.
[10] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. (Cet:2 Jakarta: Gramedia, 1990), hlm.74
[11] Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, (Amerika: West Group, 1999), hlm. 869.
[12] Keadilan substantif adalah keadilan yang diciptakan oleh hakim dalam putusan-putusannya berdasar hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam masyarakat, tanpa dibelenggu bunyi pasal undang-undang yang berlaku (Moh Mahmud MD, Koran sindo 30 Agustus 2014).
[13] Lihat Ketentuan Pasal 8 huruf n Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum “menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilu”.

[14] Lihat Ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara”.
[15] Lihat Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum “di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang”.
[16] Lihat Ketentuan Pasal 1 ayat (3) huruf D Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[17] Iwan Satriawan et.al, Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: 2012), hlm. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar